Senin, 22 Maret 2010

ORKESTRA DISEKELILING WILDAN


Misi utama pembuatan blog ini adalah memberi informasi, inspirasi, dan motivasi bagi siapa saja yang hidup bersama penyandang autis. Siapa saja yang hidup bersama anak autis, saudara autis, tetangga autis, teman autis, maupun kenal anak autis. Saya ingin berbagi dari sudut pandang yang sangat subjektif sebagai seorang ibu yang kebetulan sebagai civitas academica sebuah perguruan tinggi. Barangkali peran saya tersebut membuat tidak objektif dalam mengupas sesuatu tentang Wildan dan karya-karya Wildan. Maka apa yang saya sampaikan disini, bukanlah sebuah sejarah. Namun hanyalah merupakan serpihan jejak dari jendela pikiran seorang ibu yang kebetulan sebagai civitas academica.

Sebagai seorang ibu, saya memandang perkembangan Wildan dari banyak kacamata. Ada kacamata kekhawatiran, harapan, keputusasaan, kepasrahan, dan ketidak berdayaan. Ketika harapan dan kepasrahan sedang bersemayam dalam diri ini, maka cerita-cerita tentang Wildan adalah sebuah cerita yang menggembirakan, terkesan jenaka, lucu, menyenangkan dan mendapat banyak hikmah serta rasa takjub kepadaNya atas semua caraNya memberi hikmah. Namun ketika kekhawatiran, keputusasaan, dan ketidak berdayaan yang menguasai diri, maka cerita tentang Wildan kadangkala harus kusembunyikan dalam kata-kata yang berbeda. Bukan untuk menyembunyikan sejarah, namun untuk mengingatkan bahwasannya lebih banyak cerita yang menyenangkan bersama dia.

Ada saat kekhawatiran, keputusasaan, ketidak berdayaan tidak lagi mampu diterjemahkan kedalam kata-kata......tidak pula sanggup dibagi dengan yang lain, meski itu dengan suami atau ayah dari Wildan. Saya tahu sebenarnya ayah Wildan juga mengalami hal yang sama. Pasang surut emosi dan logika. Bahkan terkesan lebih rapuh perasaannya pada Wildan. Masa waktu pertama Wildan senam disekolah, ayahnya menyempatkan telepon ke hapeku bilang terharu lihat Wildan senam dengan gembira. Perasaan mereka memang ada sejarah yang panjang (walah...kok seperti anak angkat ya? Qiqiqi). Ada suatu masa, ayah Wildan merasa hidup sendirian bersama Wildan. Suka duka dilalui hanya dengan Wildan, dalam keheningan cakap dengan Wildan, hanyalah percakapan kasih sayang diantara mereka berdua. Yaitu ketika saya harus melanjutkan studi di Bogor tahun 2002-2004. Dan adik Wildan, harus sekolah di Batu dan tinggal bersama neneknya. Jadi, soal Wildan seringkali ayah Wildan lebih cengeng dan melankolis.

Selama masa itu, kemajuan yang sangat besar bagi Wildan adalah terlepasnya dia dari pola makan yang monoton (hanya susu, telur, mie, kue bolu.....yang pernah kuungkap dalam tulisan terdahulu di blog ini) menjadi pola makan yang beragam selayaknya orang lain. Wildan mulai mau makan sayuran, nasi, dan berbagai lauk pauk. Wildan juga mulai bisa meninggalkan botol susunya berganti gelas. Hal itu merupakan usaha keras, konsisten, dan disiplin dari ayah Wildan yang melakukan konspirasi dengan pembantu dan para guru di sekolah autis ha..ha..ha.!. Tentu saja semua harus dilakukan dengan pemaksaan. Wildan sampai muntah-muntah ketika dipaksa memasukkan sayur, nasi, dan lauk yang baru. Bahkan ketika dia dipisah dari botol susunya, ayah Wildan bela-belain begadang selama dua minggu karena nemani Wildan yang gak bisa tidur tanpa ngedot!.

Suatu upaya yang gak mungkin bisa aku lakukan!. Sebagai seorang ibu dari anak penyandang autis sebenarnya aku termasuk kurang tegas, konsisten, dan disiplin. Begitupula apabila berkaitan dengan ”pemaksaan” saat Wildan sakit harus ke dokter. Pernah lutut Wildan harus dijahit, atau saat sunat, ayah Wildan yang harus mendampingi. Pokoknya hal-hal yang ”tidak menyenangkan” itu menjadi tugas ayah Wildan. Gak ayal, dia mendapat julukan ”ayah yang galak” dari teman-temannya. Namun rupanya, kasus Wildan sangat memerlukan seseorang yang ”galak”, tepatnya ”tegas”.

Lucu sekali mengamati "ketakutan" Wildan sama sang ayah. Bila Wildan dimarahi ayahnya....seperti anak-anak yang lain, dia selalu berlindung diketiak ibunya. Namun kalo anak-anak lain melakukan dengan tersamar, Wildan melakukan dengan ”lebay” dan wajah jenaka, sehingga bikin orang gak tahan marah lama-lama kepadanya ha..ha... Bisa kebayang bahwa ayah Wildan teraduk-aduk perasaannya, antara ingin memeluk dan memberinya pelajaran. Namun, demi konsistensi tampang "galak" harus dipertahankan dibalik perasaan teraduk-aduk itu. (Semoga urat leher dan wajah sang ayah tidak putus saja hehe..)

Orang kedua yang harus tegas setelah ayah Wildan adalah adik Wildan. Ada tulisanku tentang significant person bagi kemajuan Wildan di awal-awal kemunculan blog ini yang menceritakan bagaimana sang adik adalah prime therapist bagi Wildan. Adik yang mengajarkan kakak Wildan bisa membersihkan diri sendiri usai b a b (buang air besar). Manakala ayah tidak ada, adik yang mengatasi “pembangkangan” Wildan menjadi kepatuhan. Adik yang bisa membuat Wildan melakukan kegiatan-kegiatan seperti anak-anak lain yang sebaya dengannya. Adik yang bisa bertengkar dengan kakak sehingga kakak serasa anak-anak “normal” yang nakal, sekaligus yang “berbakti”. Mereka punya permainan-permainan yang hanya mereka berdua yang tahu bahwa itu mengasyikkan.

Sebagai seorang civitas academica, saya melihat fenomena Wildan dari sisi ilmu pengetahuan dan kontrol sosial. Bercerita tentang Wildan, tentang karya-karyanya, perkembangannya, rencana-rencana untuknya merupakan hamparan Ilmu Pengetahuan yang menakjubkan. Tentang Wildan adalah bab-bab tentang teori komunikasi. Mengikuti gerakannya adalah melagukan not-not balok. Mengamati kebiasaannya adalah ilmu kesehatan. Relasinya dengan orang-orang sekitar sangat sosiologis. Mengikuti kemauanya adalah praktek politik tanpa vested interested. Membacanya seolah membaca manuskrip-manuskrip kemanusiaan. Menyelami apa yang dilakukan adalah tabulasa personal. Berenang didalam matanya adalah kebajikan. Memandangnya adalah keimanan akan kebesaran Tuhan.

Peran itu menuntunku untuk bercerita tentang Wildan dari sisi yang lebih rasional dan logis, dimana melalui cerita tersebut aku berharap orang lain mendapat informasi dan pelajaran tentang autisme dan penyandang autis. Melalui peran itu, blog ini juga ingin melakukan kontrol sosial, terutama pada gerakan warga minoritas. Bagaimana masyarakat yang dilegalkan oleh negara masih melakukan diskriminasi pelayanan pada warga minoritas yang perlu perlakuan khusus. Namun kujaga seobjektif mungkin apabila terjadi hal yang sebaliknya, terutama setelah anak-anak sekolah (TK dan SD) mulai dibiasakan menerima kehadiran anak-anak berkebutuhan khusus, berinteraksi, dan saling mengenal diantara mereka. Sekolah Inklusi adalah pilihan yang tepat.

Begitulah........
Semoga semua pihak bisa mengambil hikmah apa yang tersajikan dalam blog ini.