Selasa, 24 Juni 2008

Pelajaran Saat Listrik Padam Bagi Wildan

Setiap hari senin, kami selalu berdebar-debar. Sudah empat senin terakhir ini di desa kami mendapat giliran pemadaman listrik oleh PLN. Bisa dibayangkan, bagaimana kebijakan itu semakin menyusahkan kami yang harus melihat gelisah dan amarah Wildan saat di rumah lampu dan segala barang elektronik tidak bisa difungsikan.

Sudah menjadi kebiasaan Wildan ‘berteman’ dengan televisi. Perilaku yang katanya sangat salah, tetapi kami tidak bisa merubahnya untuk Wildan. Di rumah kami, selama Wildan terjaga, televisi selalu hidup dengan tayangan dari stasiun tertentu yang dipilih Wildan. Jangan coba-coba merubah channel, apalagi mematikan televisi. Walau sekarang Wildan tidak marah-marah lagi, namun perubahan itu akan membuatnya tidak suka dan dia akan segera mengembalikan ke channel semula. Atau Wildan akan segera menghidupkan televisi kembali, walau dia tidak harus menonton apapun darinya.

Kembali ke soal listrik…..

Tiga hari senin berturut-turut, listrik padam pada sore-malam. Sudah bisa dipatikan Wildan akan menangis sepanjang listrik padam. Senin malam minggu lalu, listrik padam Wildan mulai rewel dan marah. Kami nyalakan banyak lilin di rumah, tidak juga meredakan marahnya. Lalu kuajak dia keliling mencari daerah yang tidak mendapat giliran dipadamkan. Rupanya desa sebelah, yaitu Jetak Lor gilirannya pada hari selasa. Maka, kuajak dia berkunjung ke desa tersebut. Kebetulan kami masih berhubungan baik dengan ibu kost yang dulu kami tempati rumahnya. Dua jam kami disana. Saat kuajak kembali ke desa kami, ternyata listrik masih dipadamkan. Akhirnya, kuajak Wildan ke warung yang ramai dimana kami harus antre untuk mendapatkan nasi goreng tiga bungkus. Tujuannya adalah mengulur waktu. Begitu listrik dinyalakan…..kami segera meluncur pulang…waktu menunjukkan jam 21-an.

Hari ini tadi, pagi…listrik sudah padam sekitar jam 07.30 WIB. Bersamaan dengan padamnya televisi, saat itu juga Wildan langsung nampak panik. Begitu sadar listrik padam, Wildan mulai menangis bercucuran air mata dan memintaku untuk memeriksa meteran listrik. Diriku yang sudah siap berangkat kerja terpaksa menahan diri. Di rumah hanya ada kami bertiga; Aku, Wildan, dan asisten rumah tangga. Rasanya tidak mungkin aku bisa pergi melihat Wildan mulai memukul-mukulkan kakinya ke lantai. Tidak jarang perilakunya itu membuat kakinya lecet-lecet dan harus di tensoplast. Sekitar satu jam Wildan dalam kondisi seperti itu dengan usahaku mencegah supaya kakinya tidak dibentur-benturkan. Padahal listrik akan padam minimal empat jam!. Kubilang apapun tidak didengar oleh Wildan.

Ditengah putus asa, kuputuskan untuk mengajak Wildan bicara panjang lebar terserah dia mengerti atau tidak:

Wildan..stop menangis!. Sekarang dengarkan mama.
Listrik ini akan padam selama empat jam.
Lihat jam ini (sambil kusodorkan jam dinding).
Nanti listrik akan menyala lagi jika jarum pendek ini di angka 12 sini!.
Wildan harus mengerti ini kebijakan PLN karena PLN kekurangan daya
akibat warga Negara selama ini tidak bisa hemat energi.
Seperti Wildan itu yang menghidupkan televisi 24 jam!.
Pemerintah marah, menteri energi pusing, PLN gak berdaya.
Jadi Wildan harus mengerti.
Tidak usah menagis, nanti akan jadi bahan tertawaan orang”.

Aku diam sebentar melihat reaksinya. Selama aku nyerocos dengan keras itu, dia membelakangiku, namun dia diam saja. Saat akan menangis lagi, segera kutimpali….


“ Hayo..menangis lagi…biar Wildan diketawain orang
karena tidak juga mengerti.
Makanya, kamu juga harus ikut memberi solusi Negara
atas krisis energi ini, jangan hanya bisa menangis…”

Aku tidak peduli, dia mengerti atau tidak. Tapi….wildan hanya diam saja. Lalu dia renahkan kepalanya dipangkuanku.


“ Kalo wildan mau kegiatan,
silahkan pakai laptop mama dan buatlah gambar.
Namun satu jam lagi laptop juga mati karena kehabisan daya”.


Wildan berdiri..dan dia mengambil bukunya, lalu menuju teras. Dia duduk di sana sendirian. Aku tidak berani menyapanya, takut hanya mengingatkannya soal listrik yang padam. Akupun ke kamar. Membaca buku. Sesekali kutengok Wildan yang masih diteras melamun. Oh…kasihannya anakku ….. aku tidak jadi kerja setelah kukirim pesan-pesan pada para mahasiswa. Semoga mereka mengerti kesulitanku, walau terkesan tidak professional. Bissmillah….

Setengah jam kemudian, Wildan beringsut ke halaman dan menit berikutnya mulai enjoy mengamati para tukang yang sedang membangun rumah di depan rumah kami. Kira-kira satu jam Wildan di luar, dia masuk rumah dan menghampiriku. Ditangannya ada sebuah lilin dan korek. Aku nanar memandang anakku. Oh, dia tidak juga mengerti, namun dia belajar bahwa apabila listrik padam maka perlu menyalakan lilin. Kupeluk dia….dan kunyalakan lilinnya. Kuajak dia ke kamar dan kuminta menutup jendela dan pintu kamar, biar lilin nampak benar peruntukannya. Wildan pun puas. Lalu dia keluar lagi, kembali mengamati tukang-tukang bangunan bekerja.
Akupun bersiap-siap kembali untuk berangkat kerja. Jam 11 saat aku sudah siap, kupanggil Wildan. Kubilang,


Wildan, mama kerja. Tidak boleh menangis soal listrik yang padam.
Insya Allah jam 12 sudah nyala kembali dan Wildan boleh main computer”. Diapun tersenyum.
"Sekarang kalau mau main di luar, ambil topi. Tidak boleh jauh-jauh”.

Saat berangkat, aku tidak menoleh lagi kebelakang sampai kantor. Aku percaya, Wildan bisa mencerna kata-kataku yang putus asa tadi dan dia sudah mendapatkan keasyikan tersendiri dengan tidak menggantungkan diri pada pemadaman listrik oleh PLN. Semoga kelak dia menemukan energi listrik pengganti sehingga tidak usah menggunakan jasa PLN yang sudah lama memonopoli di negeri ini.

Rabu, 11 Juni 2008

Dia Nampak senang apabila Kami Mengapresiasi Lukisannya



Sejenak, aku tak menyambut kedatangan Wildan sepulang les lukis minggu lalu. Tidak seperti biasanya memang. Biasanya sepulang les, dia selalu kuberondong dengan pertanyaan-pertanyaan walau tidak juga dijawab. Tapi hari itu aku malah sibuk dengan laptop mengumpulkan tulisan-tulisan dari situs Dewan Pers.

Sikapku itu baru kusadari setelah Wildan mondar-mandir dengan membawa gulungan kertas plano. Seperti biasa..mondar-mandir tanpa suara. Merasa agak terusik karena hadirnya sensasi gerakan Wildan, aku nyelutuk, “Wildan, ngapain yak ok jalaaaan saja. Ayo duduk..”. Ternyata adiknya yang menyahut,”Kakak lho ma ingin lukisannya dilihat”. Wow….akupun terhenyak…oh benar, dia memegang lukisannya yang baru!. Oh, anakku..maafkan ibumu ini…segera kuhampiri Wildan,”Oh..itu lukisan Wildan yang baru yaa..Lihat dong..". Wildanpun menyodorkan lukisannya yang masih tergulung. Kubeber lukisan besarnya seukuran penuh satu plano di lantai, dia tertawa meloncat-loncat dan kemudian bersamaku duduk di lantai melihat lukisannya. Lukisan manusia dalam garis-garis, dengan background warna coklat tanah. Manusia-manusia yang berjumlah 6 orang dalam bentuk nyaris garpu dan sendok itu kurasakan sebagai lukisannya yang paling original. Hati kecilku berbisik, lukisan kali ini khas coretan-coretannya saat di rumah.

Peristiwa hari itu membuat mengingat-ingat perubahan yang terjadi pada diri Wildan. Akhir-akhir ini Wildan nampak sangat senang apabila aku "pamerkan" pada setiap tamu yang datang dan bertanya tentang lukisan Wildan. Biasanya lukisannya akan ku beber di lantai. Maklumlah, hingga saat ini kami belum juga membingkai lukisan-lukisan Wildan. Padahal, tentu akan semakin membuatnya semangat, senang, dan terinspirasi apabila kami membingkai dan memasangnya di tembok-tembok rumah.....Maafkan kami pelukisku...