Jumat, 22 Januari 2010

Kalau Wildan Sakit

Adakah pelajaran yang bisa diambil dari seorang penyandang autis?. Jawabnya tentu saja ada dan banyak. Salah satunya adalah ketika dia sakit.

Sepanjang hidup Wildan ini, ada beberapa kali dia mengalami sakit. Seperti anak-anak pada umumnya, sakit flu..diaree..batuk...pilek..demam...gatal/alergi...luka terbuka...sakit mata...dan infeksi luka..juga dialami oleh Wildan. Semoga tidak ada penyakit yang aneh-aneh. Amin ya Allah.

Teman-teman sering bertanya, bagaimana bila Wildan sakit?.
Subhanallah...Allah memang Maha Adil dan Bijaksana.
Penyandang autis, konon memiliki ambang rasa sakit yang dalam. Artinya dia lebih kuat bertahan dibanding rata-rata anak biasa. Mungkin dalam kasus Wildan itu benar. Dia sangat cool dan mandiri saat sakit. Tidak pernah merengek...manja...dan rewel.

Baru saja dia kena "cantheng". Itu loh, luka di kuku kaki. Biasanya di jempol. Nah sebulan dia canthengen di jempol kaki sebelah kanan. Kukunya menghujam ke daging, nampak berusaha mengelupas, daging disekitar kuku bengkak. Pastilah rasanya cenut-cenut. Namun begitu, Wildan tidak pernah menangis, Dia tetap beraktivitas sperti biasa, mandi seperti biasa, dan tentu pake kaos kaki seperti biasanya. Bedanya hanya dia minta jempolnya selalu diperban. Kalo tidak ada yang tahu, dia akan ganti sendiri perbannya setiap kali habis mandi atau perban sdh nampak kotor. Ketika kami belikan obat oles dan salep...dia juga gunakan salep itu sendiri, tdk perlu nunggu ditolong. Jadi teringat saat dia sunat. Wildan merawat sendiri luka sunatnya itu. Bahkan tidur tidak mau ditemani siapapun. Kemandiriannya patut disyukuri.

Kuamati dan kuingat-ingat pelajaran darinya dalam menghadapi sakit.
Wildan lebih banyak minum air putih manakala sakit. Lebih banyak tidur. Makan tetap teratur. Dan tertib minum obat apabila memang disediakan obat. Sangat jarang kami memberi obat-obatan yang diminumkan kecuali sangat terpaksa. Alhamdulillah, sejauh ini cepat sekali sembuhnya. Mungkin karena dia selalu pakai kaos kaki di rumah. Sepanjang waktu. Hanya dilepas manakala keluar rumah dan ke kamar mandi.

Hunting Sekolah Inklusi

Selasa, 19 Januari 2010

Hari ini saya ijin untuk tidak ke kantor. Ingin kuhabiskan hari bersama Wildan. Hari ini sehabis ngoreksi dan menyelesaikan entry nilai, kuajak Wildan ke sekolah. Siapa tahu ada yang cocok.
Tidak terperi betapa senang dan ceria wajah Wildan begitu kubilang, "Wildan, ayo kita keluar. Ganti baju, nak". Tanpa dua kali, Wildan segera memilih bajunya sendiri. Dia sudah tahu mana baju untuk pergi dan mana baju untuk di rumah.

Kamipun meluncur ke arah Kota Batu melalui kecamatan Junrejo.
Sekolah pertama, sebuah SD Negeri yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Terpampang plang sekolah "SD Inklusi" (artinya menerima murid dengan kebutuhan khusus, seperti Wildan). Nampak beberapa murid mengenakan baju olah raga sedang siap-siap pulang. Wildan langsung mau ke halaman sekolah dan berlari ke dalam. Gerakannya agak tak terkendali kesana-kemari mengintip ruang demi ruang. Ada beberapa bangunan yang sedang diperbaiki. Rupanya SD ini juga merupakan SD satu atap dengan TK.

Kuajak Wildan memasuki ruang Kepala Sekolah yang agaknya sedang sibuk dengan berkas-berkas. Namun, blio dengan ramah mempersilahkan kami masuk. Diantara kewalahan dengan gerakan Wildan kuutarakan maksud kedatangan kami. Kepala Sekolah merespon dengan baik dan memanggil salah satu guru inklusi.

Wildan berlari tertawa-2 letika guru inklusi datang. Blio mengejar Wildan (mungkin juga semacam penjajagan). Kesempatan itu kugunakan lebih banyak konsultasi dengan Kepala Sekolah. Pada dasarnya ketika sebuah sekolah sudah memasang "Sekolah Inklusi" maka mereka sudah berkomitmen menerima murid-2 berkebutuhan khusus. Artinya tidak boleh menolaknya. (teringat bagaimana dulu tahun 2002 dan 2004 Wildan ditolak oleh TK Swasta di daerah Dinoyo dan Sengkaling dengan alasan para Orang Tua Wali murid-2 yang "normal" keberatan). Kebetulan sang Kepala Sekolah dan guru inklusi SD ini baru mengikuti Seminar Autis. Jadi penerimaan mereka sangat baik terhadap maksud kami. Namun, ketika Wildan dan guru inklusi masuk bergabung dengan kami....ada semacam kesimpulan awal, bahwa sang guru merasa kewalahan dengan perilaku Wildan yang memang nampak over acting itu. Maklumlah, sekarang Wildan lebih tinggi daripada saya. Blio bilang, Wildan sebaiknya ditemani shadow (er) bila jadi sekolah di sini.

Ya, saya bisa maklum pada saat itu, Wildan nampak liar atau over acting begitu. Sementara SD ini masih memiliki guru inklusi yang terbatas. Hanya satu. Lulusan Fakultas Psikologi. Tapi masih sukwan. Begitu pula sarana atau fasilitas kelas inklusi yang masih sangat jauh dari ideal. Berdasarkan pembicaraan dan evaluasi tersebut, Kepala Sekolah menyarankan kami melihat dulu sekolah yang lain. Blio memberi rekomendasi dua sekolah lagi.

Syukur Alhamdulillah...sekarang sudah banyak SD inklusi di Batu dan Kota Malang. Bahkan sudah ada SMP inklusi. Ini kemajuan luar biasa, mengingat pada tahun 1999-2000 kami yang bergabung di HOPA (Himpunan Orang Tua Peduli Autis) begitu nelangsa manakala anak-anak kami ditolak oleh sekolah-sekolah (TK dan SD). Sementara sekolah autis juga masih terbatas jumlahnya. Di Malang Raya saat itu hanya ada dua sekolah autis. Hingga tahun 2004 kemudian mulai bermunculan sekolah autis dan anak berkebutuhan khusus. sepengetahuan saya sekarang di Kota Malang sudah ada tujuh sekolah autis dan di Kota Batu ada satu. Tahun 2007 mulai menggembirakan ketika banyak SD mengajukan diri dan ditunjuk oleh Diknas untuk menjadi SD Inklusi.

Wildan sendiri sudah pernah masuk TK Inklusi selama dua tahun, yaitu di TK Dharma Wanita Dinoyo (belakang RSI Unisma Dinoyo). terimakasih kepada para guru di sana yang dengan penuh empathy, kasih sayang, dan pengertian menerima Wildan. Keluar dari TK Dharma Wanita, Wildan masuk SD Inklusi. Namun, dia tidak mau masuk bahkan melewati gerbang sekolah saja dia sudah memberontak. Entah karena apa. Yang jelas pernah saya mengantarnya, Wildan hanya boleh mengikuti olah raga dan dia tidak punya bangku di kelas. Sekolahnya hanya sebatas halaman sekolah. Bahkan tas bawaannya hanya bisa ditaruh di bangku semen yagn ada di halaman sekolah. begitu pula dengan seorang teman Wildan yang juga autis. Hanya bangku semen di halaman sekolah yang menjadi bangku mereka. Mungkin karena itu Wildan tidak mau sekolah disitu. Dia merasa tidak dikehendaki. Tidak ada guru yang menyambut kedatangannya. Saat kuantar itu, pas murid-2 latihan upacara dan berbaris. Mereka tiba-2 bubar untuk menyambut Wildan, namun ekspresi guru olaha raga namak tidak suka dan memarahi murid-murid.

Setelah itu Wildan hanya sekolah di rumah. Guru dari sekolah autis datang ke rumah bergantian, sampai Wildan sendiri yang menolak mereka. Kami cari lagi sekolah SD Inklusi. Ada lagi yang menjajikan Wildan bisa diterima. Saat kami datang, SD tersebut sedang renovasi kantor sehingga kelas inklusi semenetara menunggu kelas baru, digunakan sebagai kantor. Kepala Sekolah menerima dengan baik dan kami diperkenankan melihat-lihat kelas inklusi "darurat". Nampak sangat tidak layak, menempati ruang yang sangat sempit, pengap, dan tidak sehat. Tentu saja Wildan tidak akan suka. Benar saja, pada hari yang lain...kami ajak Wildan ke SD tersebut...Wildan hanya menangis. Hari-hari selanjutnya, bahkan Wildan tidak mau masuk melewati gerbang sekolah!.

Hari ini, harapan baru muncul dalam langkahku menunjkkan pada Wildan ada sekolah inklusi yang bagus dan akan membuatnya betah. Kamipun meluncur ke SD Negeri Tlekung 2 yang baru mendapatkan bantuan pemerintah sekian ratu juta untuk menangani kelas inklusi. Disebuah halaman sekolah yang berlokasi di sebuah perkampungan, kuparkir kendaraan. Wildan turun dan mulai menuju satu tempat. Ada beberapa guru puteri seperti habis sholat dhuhur. Salah satu langsung merangkul Wildan dan mengajaknya salaman. Suasana begitu ramah. Sayapun mengutarakan maksud kedatangan kami secara singkat. "saya Kepala sekolahnya", begitu jawab dari seorang guru yang tadi merangkul Wildan. Lalu dengan penuh semangat kepala sekolah mengikuti kemana Wildan melangkah, dan penuh sayang Wildan dipandu ke kelas Inklusi. Ruangan yang menyenangkan dengan warna dan gambar yang ceria. Ada tiga guru yang masih muda sedang mengerjakan sesuatu, bersamaan menyapa Wildan dengan bersahabat. Wildanpun mulai mengeplorasi ruangan tersebut. Sesekali dengan tiba-2 Wildan berpindah ke ruang lain. Mengintip dari jendela dan atau berusaha menengok dari pintu. Seorang guru lelaki mengajaknya bermain bel sekolah (kemudian saya tahu itu guru agama). Suasana jadi sangat menyenangkan dengan semua orang bertanya dan menyapa kami.

Sayapun diajak ke ruang Kepala Sekolah, sementara Wildan dibiarkan mengekplorasi sekolah dengan pengawasan mata semua orang yang ada di sana. Terasa, kami merasa enjoy. Ini yang penting bagi anak autis. Dia akan memilih sendiri sekolahnya!.
Dalam hati saya merasa Wildan bakal suka di sekolah ini.
Hasil pembicaraan menyimpulkan, kami akan mencoba Wildan sekolah di sini mulai 1 Februari.
Ya Allah......semoga ini adalah yang terbaik yang Engkau pilihkan.

Maafkan Mama


Sabtu, 16 Januari 2010.

Pagi ini saya terlambat berangkat ngantor. Gara-gara Wildan menghalangi terus.
Pertama, saat mau mandi...dia merebut handukq dan segera menaruh di jemuran. Meski sambil tertawa-2 menggoda, saya mengerti Wildan ingin saya tetap di rumah. Tapi apa daya, hari ini harus menguji skripsi. Kedua, Wildan mendorong-2 saya untuk ke tempat tidur. Ada ayahx disitu. Rupanya Wildan mengatur supaya saya dan ayahnya tetap tidur biar masing-masing tidak berangkat kerja. Bahkan untuk meyakinkan kami tidak berangkat, Wildan duduk di kakiq sementara kakinya sendiri ditumangkan ke dada ayahnya.

Wajahnya yang jenaka dan gayanya yang tak berdosa, membuat kami tertawa sumbang. Sisi satu terus terang kami merasa geli dengan tingkah polahnya, namun disisi yang lain kami merasa sangat bersalah seringkali meninggalkan Wildan di rumah. Apalagi sejak dia tidak mau lagi sekolah dan les melukisnya berhenti. Praktis sehari-hari Wildan hanya di rumah sama pembantu. Sementara adiknya datang dari sekolah jam 12.30 WIB. Saya datang jam 16.00 WIB. Begitu pula ayahnya yang bisa seharian di luar rumah.

Akhir-akhir ini, volume pekerjaan saya meningkat. Bercanda dengan Wildan ketika pulang sampai dia tidur jam 21.00 WIB kami kira sudah cukup. Rupanya, bagi Wildan ada sesuatu yang hilang. Dan dengan caranya dia menyibukan diri sendiri. Dan dengan caranya dia mengingatkan kami bahwa dia perlu sesuatu yang lebih. Tidak jarang ketika saya akan bangun pagi, Wildan segera menyelimutiku kembali....mengharap saya kembali tidur yang itu artinya tidak keluar rumah. Kutatap wajahnya dalam-dalam...mencoba menyelami apa yang dirasakan pagi ini.

Dalam sunyi sapamu,

mata hatimu menakar kasih.

Dalam gerak ceriamu,

batinmu menangis sedih.

Aku yang keterlaluan,

menyangka engkau baik2 saja.

(Maafkan mama, nak)