Kamis, 30 Desember 2010

Corat-Coret di Buku

Pagi tadi saat mau berangkat kerja, disaat lagi "ribet" antara ambil buku dan meladeni obrolan ayah Wildan: Buku yang kuambil tersibak...sehingga nampaklah halaman Daftar Isi. Ayah Wildan terperanjat, "Lho kenapa itu bukunya Ma? kok kotor???.". Saya tersenyum saja sambil lalu jawab, "Yaaa..sudah lama sekali, ini termasuk "korban" aksi Wildan". Ayahnya langsung antusias, "OOhhh....gambaranya kakak ya? aduh anakku...hatiku langsung serr ma..jadi kangen sama Wildan.". Akhirnya sejenak kami amati corat-coret di Daftar Isi itu.

Awal-awal Wildan suka menggambar, medianya sangat unik. Dia lebih suka menggambar di kertas-kertas bekas, termasuk di halaman-halaman buku. Tidak peduli, buku baru atau buku lama. Jadi jangan heran, bila mendapati buku kami tidak pernah bersih. Termasuk bukunya adik. Namun, khusus untuk buku adiknya, kami cukup ketat mengawasi jangan sampai sering di corat-coret Wildan. Tidak hanya buku, majalah, dan surat kabar juga bisa menjadi sasaran empuk. Uniknya lagi, ada masa Wildan sangat menikmati menggambar di bekas kotak kue, dan pot bunga. Bahkan lebih lucu lagi, adiknya tidak pernah bisa tenang manakala memakai baju koko polos..karena pasti akan dikejar-kejar Wildan..untuk digambari!. Sang adik sih sebenarnya senang-senang saja saat Wildan menggambar di baju kokonya. Apalagi bila di bagian punggung. Kata adik, enak...seperti ada yang menggaruk-garuk punggungnya. Tidak jarang adik sampai tertidur. Saat adiknya tertidur, Wildan bisa pindah media menggambarnya..dari baju adik ke kening adik..juga ke kaki adik hahaha.....

Sayang sekali bukti-bukti gambar Wildan di berbagai media tersebut, tidak seluruhnya terdokumentasi dengan baik. Pernah saya kumpulkan gambar-gambarnya di media koran bekas dan majalah bekas. Kubingkai dengan kertas warna-warni (asturo). Lalu pihak sekolah autis meminta, konon hanya pinjam untuk pameran sekolah. Dua kali saya meminjamkan gambar yang berbeda-beda pada sekolah autis. Sayang, semuanya tidak kembali. Waktu saya minta, katanya masih ketlisut..entah dimana.

Semoga masih ada yang tersisa yang belum kami dokumentasikan. Duh..rasanya ingin sekali liburan dan mencari gambar-gambar Wildan di tumpukan majalah di rumah Areng-areng maupun rumah Batu.

Jumat, 17 Desember 2010

Lukisan-Lukisan Komputer






Sebagai pengobat kangen, unggahan lukisan-lukisan Wildan via komputer (word paint) ini semoga bisa menyejukkan. Seri ini saya pilihkan untuk mengamati bagaimana perspektif Wildan pada sosok perempuan dengan berbagai pose.

Saya tidak tahu pasti darimana ide Wildan menggambar sosok perempuan dengan perut terbuka, seperti para wanita India ini. Padahal televisi sudah lama tidak menayangkan Film India hehe..

Semakin Menyendiri





Sejak Wildan memutuskan tinggal di rumah Sidomulyo-Batu, kehidupan sosialnya mengalami kemunduran. Saat ini sudah tujuh bulan lebih dia tidak mau pulang lagi ke Areng-Areng oleh sebab yang tidak kami mengerti. Sejak itu pula Wildan mulai tidak suka diajak keluar dari rumah. Hari-harinya hanya dihabiskan di dalam rumah. Sibuk dengan laptopnya yang berisi Game merawat tanaman hias atau mondar-mandir di dalam rumah dari ruang keluarga-ruang tamu-kamar atas-kamar bawah-ruang makan, dan dapur. Bahkan di awal-awal bulan, dia menolak kehadiran tamu yang datang. Termasuk kami, ayah-ibu, dan adiknya. Begitu ada tamu, dia langsung heboh minta salim (salaman) supaya tamunya segera pulang!.

Lama kelamaan dia bisa menahan diri untuk tidak langsung "mengusir" tamu. Hanya bila sudah jam 20.00 WIB dia akan resah manakala tamu tidak segera pamit. Pas jam 21.00 WIB bila tamu tidak jua pulang, maka Wildan akan berulang kali minta salim sebagai tanda tamu harus segera pamit. Maklumlah, jam 21.00 adalah jam tidur biologisnya. Dia perlu ketenangan menjelang tidur tersebut. Saat seperti itu adalah saat yang menegangkan bagi kami semua karena Wildan akan sangat sensitif dan uring-uringan.

Namun, bukan itu yang paling meresahkan kami. Keengganannya untuk keluar rumahlah yang paling meresahkan karena dengan begitu dia tidak banyak berinteraksi dengan orang lain. Penghuni rumah Batu sendiri hanya terdiri dari Wildan, nenek, om dan tante, serta si bayi. Seringkali mereka ada di ruangan yang berbeda. Paling Wildan lebih suka "nggelibet" pada neneknya (ibu saya) yang sudah berusia 65 tahun. Apabila diajak nenek keluar rumah, Wildan selalu menolak. Bahkan manakala dia ingin kue, tetap tidak mau diajak bersama-sama ke toko. Kalau sudah begitu, neneknya akan diambilkan dompet dan dirayu-rayu supaya mau membelikannya kue.

Lebih menyedihkan, kami yang berusaha membujuk dengan iming-iming mengajaknya berenangpun tidak bisa membuatnya "jatuh iman". Padahal renang adalah aktivitas yang dulu paling disenanginya!. Seperti kita tahu, air merupakan wahana yang cenderung sangat disukai anak-anak autis.

Kesendirian, kesunyian yang dialami Wildan saat ini sudah menunjukkan dampak negatif. Salah satunya adalah Wildan nampak kuper sekali. Beberapa kali kami berhasil membujuknya keluar rumah. sekedar membeli bakso, atau jagung bakar dalam durasi waktu yang pendek. Pada saat seperti itu, begitu dia keluar mobil....langsung menutup kedua telinganya dengan tangan atau berlindung dalam pelukan ayahnya atau pelukanku.

Kami sangat prihatin dengan keadaan ini. Tapi entah sampai kapan bisa keluar dari kondisi ini. Betapa rindunya mengajak Wildan berenang, jalan-jalan ke alun-alun dan mall, atau sekedar bersilaturahmi ke handai taulan. Kami merencanakan rekreasi ke luar kota, tapi entah bisa terealisasi atau tidak. Andai Wildan tidak mau ikut...betapa tidak berartinya liburan yang kami rencanakan itu........

Kamis, 24 Juni 2010

PUTUS ASA?

Hari ini para orang tua wali murid Sekolah Dasar pada menerima raport. Tanda kenaikan kelas tiba. Namun, kami tidak termasuk keluarga yang menerima raport. Bukan karena sekolahan tidak mau membuat laporan perkembangan belajar Wildan, tapi karena sudah hampir dua bulan Wildan mogok sekolah!. Jadi apa yang akan dilaporkan, toh?.

Semula dengan diterimanya Wildan sekolah di SDN 2 Tlekung dan juga melihat betapa riang gembiranya Wildan berangkat sekolah, kami mulai merasakan kelegaan. Seolah masalah studi Wildan akan terpecahkan. Namun seiring berjalannya waktu, Wildan hanya bertahan sekolah 3 bulan. Selanjutnya, tanpa sebab yang pasti...Wildan mogok. Maunya hanya di rumah nenek di Batu dan andai ada di rumah, dia ogah-ogahan ke sekolah. Bila dipaksa sekolah, dia marah dan uring-uringan.

Sampai saat ini kami tidak tahu pasti, kenapa?.
Hasil dialog dengan guru sekolah, mereka menduga Wildan mengalami semacam trauma karena sempat kami terlambat menjemput hingga satu jam. Saat itu, jam 9.30 seharusnya dia sudah keluar kelas untuk pulang. Tapi penjemput datang jam 10.30-an. Selama menunggu jemputan, konon Wildan menangis, marah, dan minta diantar pulang oleh salah satu guru yang ada. Sejak itu dia mulai ogah sekolah.

Namun berbarengan dengan kasus tersebut adalah Wildan mulai sangat kerasan tinggal di rumah nenek dan bermanja-manja di sana. Datang ke sekolah mulai senin-kamis. Apalagi setelah sekolah sempat diliburkan 3 hari karena pihak sekolah fokus pada persiapan UNAS untuk murid kelas VI. Semakin bertambah lagi manakala sekolah diliburkan seminggu karena UNAS. Lengkap sudah. Wildan semakin merasa enjoy tidak sekolah.

Praktis, dua bulan ini rasanya tidak ada progress soal akademik Wildan.
Satu masa yang sangat sulit bagi kami. Rasanya mengalami jalan buntu bagaimana mengarahkan Wildan. Mana dia juga tidak mau pulang, tidak mau dijemput dari rumah nenek, bahkan tidak mau ditungguin saat di sana. Kenapa dia menolak kami (ayah dan ibunya)?. Itu yang menyedihkan.

Kami mengamati, sepertinya Wildan ingin nenek tinggal bersama dia. terserah mau di rumah Batu apa di rumah Areng-areng. Keberadaan nenek yang setiap waktu ada dekat dengannya sepertinya membuat Wildan nyaman. Sekaligus manja. Makan minta disiapkan nenek, seringkali juga minta disuapin. Apa daya, nenek tidak bisa tinggal bersama kami di Areng-areng. Rasanya kami tidak tega memaksa nenek menghentikan seluruh kegiatan sosial masa tuanya di Batu. Berbagai pengajian yang diikuti, aktivitas sebagai pengurus ormas keagamaan, aktivitas sebagai pengurus koperasi desa, aktivitas sebagai pengurus PKK, merupakan jejaring sosial yang penting bagi seorang pensiunan seperti nenek. Kwalitas hidup sosialnya didapatkan dari kiprahnya di masyarakat. Mana mungkin kami memutus semua aktivitas yang baik itu digantikan dengan meminta nenek tinggal di rumah Areng-areng?.

Andai mungkin kami seharusnya bisa mengantar nenek di setiap aktivitas itu. Toh jarak rumah Areng-areng dan rumah Batu hanya 10 km?. Beranikah kutawarkan solusi ini pada nenek?.

Ya Allah....

Jumat, 16 April 2010

Semua Lagi Kangen



Sudah 10 hari rumah tanpa Wildan.
Sepi, tidak terdengar "bunyi"nya. Tidak terdengar langkah-langkah kakinya yang bertebaran di setiap ruang. Tidak ada juga dengkuran halusnya kala malam merayab. Tidak ada juga si "raja maksa" spy kami rela dicabut kumis, dan uban. Tidak ada yang menggelanyut di pundak, atau meletakkan kakinya dengan jenaka di tubuh kami. Tidak ada suara Zuma yang menggelegar. Tidak terlihat pula sinar dari layar PC di kamar.

Pulang ke rumah jadi kurang greget.
Adik juga nampak lesu. Jarang senyum. Suka tidur siang.
Ayah sering bicara sendiri seolah sedang "ngomeli" Wildan.
Asisten Rumah Tangga juga mengeluh kesepian krn tidak ada yang minta ini itu.
Masakan sering tidak habis.

Keheningan itu gara-gara Wildan tidak mau pulang dari rumah neneknya di Sidomulyo-Kota Batu. Jarak ditempuh 60 menit dari rumah PP. Waaaa.......!.

Bermula Kamis, 8 April lalu. Pagi hari Wildan sdh gelisah dan menunjuk ke arah Batu. Kami pura-pura tidak mengerti dan seperti biasa meminta Wildan menggambar apa yang dia mau.
Wildan ambil laptop dan digambarlah tiga gundukan Gunung dengan jalan berkelok. Disela-la kaki gunung di gambar sebuah rumah. Rumah ibuku. Jadi Kamis itu karena sekolahnya libur, akhirnya kami antar Wildan ke Sidomulyo. Eh..ternyata hari jum'at dijemput ayahnya, dia tidak mau. Bahkan ayahnya tidak boleh masuk rumah neneknya.

Sabtu, ganti saya yang menjemput. Ternyata juga tidak mau. Bahkan begitu saya di depan pintu masuk, dia langsung teriak, "tidak..tidak...!". Sama dengan ayah, sayapun didorong-dorong supaya segera keluar dan pulang dari rumah neneknya. Bagaimana siih???. Minggu habis magrib saya jemput lagi. Hujan deras. Dia ragu-ragu. Kira-kira 15 menit kemudian dia mau ikut dengan mobil pulang ke areng-areng. Namun, sampai rumah Wildan mulai menangis. Minta kembali ke rumah nenek. Hujan masih turun malam itu. Saya dan adik merayu-rayu sampai rasanya habis kesabaran. Sempat kubentak, "Wildan...tidak..malam ini tidak ke rumah eyang. Kita tidur disini!". Wildan masuk kamar dengan membanting pintu. Dari dalam terdengar tangisannya meraung-raung. Adik dan saya berpandangan...tersenyum..sedih dan geli. Tangisannya itu lhoo...kayak diapakan saja.

Malam itu jam 20 WIB kami menyerah. Tangisan dan ekspresi Wildan meruntuhkan "iman"ku dan adik. Akhirnya bertiga kami kembali ke Batu dibawah guyuran hujan. Ayahnya belum pulang karena habis magrib ada kondangan. Kami bertiga tidur rumah Batu. Senin pagi jam 06.15 kembali turun ke Malang karena adik harus sekolah. Wildan tetap tidak mau ikut pulang.

Senin, habis acara di Batu...saya sempatkan nengok Wildan denngan harapan dia mau pulang. Ternyata siang itu jam 14 an dia tidur. Terpaksa tidak kuajak serta pulang karena saya ada acara di Malang. Selasa siang, ayahnya berusaha menjemput. tetap tidak mau. Seperti sebelumnya, juga diusir.

Jadiiiii...smp sekarang dia tidak di rumah.

Senin, 22 Maret 2010

ORKESTRA DISEKELILING WILDAN


Misi utama pembuatan blog ini adalah memberi informasi, inspirasi, dan motivasi bagi siapa saja yang hidup bersama penyandang autis. Siapa saja yang hidup bersama anak autis, saudara autis, tetangga autis, teman autis, maupun kenal anak autis. Saya ingin berbagi dari sudut pandang yang sangat subjektif sebagai seorang ibu yang kebetulan sebagai civitas academica sebuah perguruan tinggi. Barangkali peran saya tersebut membuat tidak objektif dalam mengupas sesuatu tentang Wildan dan karya-karya Wildan. Maka apa yang saya sampaikan disini, bukanlah sebuah sejarah. Namun hanyalah merupakan serpihan jejak dari jendela pikiran seorang ibu yang kebetulan sebagai civitas academica.

Sebagai seorang ibu, saya memandang perkembangan Wildan dari banyak kacamata. Ada kacamata kekhawatiran, harapan, keputusasaan, kepasrahan, dan ketidak berdayaan. Ketika harapan dan kepasrahan sedang bersemayam dalam diri ini, maka cerita-cerita tentang Wildan adalah sebuah cerita yang menggembirakan, terkesan jenaka, lucu, menyenangkan dan mendapat banyak hikmah serta rasa takjub kepadaNya atas semua caraNya memberi hikmah. Namun ketika kekhawatiran, keputusasaan, dan ketidak berdayaan yang menguasai diri, maka cerita tentang Wildan kadangkala harus kusembunyikan dalam kata-kata yang berbeda. Bukan untuk menyembunyikan sejarah, namun untuk mengingatkan bahwasannya lebih banyak cerita yang menyenangkan bersama dia.

Ada saat kekhawatiran, keputusasaan, ketidak berdayaan tidak lagi mampu diterjemahkan kedalam kata-kata......tidak pula sanggup dibagi dengan yang lain, meski itu dengan suami atau ayah dari Wildan. Saya tahu sebenarnya ayah Wildan juga mengalami hal yang sama. Pasang surut emosi dan logika. Bahkan terkesan lebih rapuh perasaannya pada Wildan. Masa waktu pertama Wildan senam disekolah, ayahnya menyempatkan telepon ke hapeku bilang terharu lihat Wildan senam dengan gembira. Perasaan mereka memang ada sejarah yang panjang (walah...kok seperti anak angkat ya? Qiqiqi). Ada suatu masa, ayah Wildan merasa hidup sendirian bersama Wildan. Suka duka dilalui hanya dengan Wildan, dalam keheningan cakap dengan Wildan, hanyalah percakapan kasih sayang diantara mereka berdua. Yaitu ketika saya harus melanjutkan studi di Bogor tahun 2002-2004. Dan adik Wildan, harus sekolah di Batu dan tinggal bersama neneknya. Jadi, soal Wildan seringkali ayah Wildan lebih cengeng dan melankolis.

Selama masa itu, kemajuan yang sangat besar bagi Wildan adalah terlepasnya dia dari pola makan yang monoton (hanya susu, telur, mie, kue bolu.....yang pernah kuungkap dalam tulisan terdahulu di blog ini) menjadi pola makan yang beragam selayaknya orang lain. Wildan mulai mau makan sayuran, nasi, dan berbagai lauk pauk. Wildan juga mulai bisa meninggalkan botol susunya berganti gelas. Hal itu merupakan usaha keras, konsisten, dan disiplin dari ayah Wildan yang melakukan konspirasi dengan pembantu dan para guru di sekolah autis ha..ha..ha.!. Tentu saja semua harus dilakukan dengan pemaksaan. Wildan sampai muntah-muntah ketika dipaksa memasukkan sayur, nasi, dan lauk yang baru. Bahkan ketika dia dipisah dari botol susunya, ayah Wildan bela-belain begadang selama dua minggu karena nemani Wildan yang gak bisa tidur tanpa ngedot!.

Suatu upaya yang gak mungkin bisa aku lakukan!. Sebagai seorang ibu dari anak penyandang autis sebenarnya aku termasuk kurang tegas, konsisten, dan disiplin. Begitupula apabila berkaitan dengan ”pemaksaan” saat Wildan sakit harus ke dokter. Pernah lutut Wildan harus dijahit, atau saat sunat, ayah Wildan yang harus mendampingi. Pokoknya hal-hal yang ”tidak menyenangkan” itu menjadi tugas ayah Wildan. Gak ayal, dia mendapat julukan ”ayah yang galak” dari teman-temannya. Namun rupanya, kasus Wildan sangat memerlukan seseorang yang ”galak”, tepatnya ”tegas”.

Lucu sekali mengamati "ketakutan" Wildan sama sang ayah. Bila Wildan dimarahi ayahnya....seperti anak-anak yang lain, dia selalu berlindung diketiak ibunya. Namun kalo anak-anak lain melakukan dengan tersamar, Wildan melakukan dengan ”lebay” dan wajah jenaka, sehingga bikin orang gak tahan marah lama-lama kepadanya ha..ha... Bisa kebayang bahwa ayah Wildan teraduk-aduk perasaannya, antara ingin memeluk dan memberinya pelajaran. Namun, demi konsistensi tampang "galak" harus dipertahankan dibalik perasaan teraduk-aduk itu. (Semoga urat leher dan wajah sang ayah tidak putus saja hehe..)

Orang kedua yang harus tegas setelah ayah Wildan adalah adik Wildan. Ada tulisanku tentang significant person bagi kemajuan Wildan di awal-awal kemunculan blog ini yang menceritakan bagaimana sang adik adalah prime therapist bagi Wildan. Adik yang mengajarkan kakak Wildan bisa membersihkan diri sendiri usai b a b (buang air besar). Manakala ayah tidak ada, adik yang mengatasi “pembangkangan” Wildan menjadi kepatuhan. Adik yang bisa membuat Wildan melakukan kegiatan-kegiatan seperti anak-anak lain yang sebaya dengannya. Adik yang bisa bertengkar dengan kakak sehingga kakak serasa anak-anak “normal” yang nakal, sekaligus yang “berbakti”. Mereka punya permainan-permainan yang hanya mereka berdua yang tahu bahwa itu mengasyikkan.

Sebagai seorang civitas academica, saya melihat fenomena Wildan dari sisi ilmu pengetahuan dan kontrol sosial. Bercerita tentang Wildan, tentang karya-karyanya, perkembangannya, rencana-rencana untuknya merupakan hamparan Ilmu Pengetahuan yang menakjubkan. Tentang Wildan adalah bab-bab tentang teori komunikasi. Mengikuti gerakannya adalah melagukan not-not balok. Mengamati kebiasaannya adalah ilmu kesehatan. Relasinya dengan orang-orang sekitar sangat sosiologis. Mengikuti kemauanya adalah praktek politik tanpa vested interested. Membacanya seolah membaca manuskrip-manuskrip kemanusiaan. Menyelami apa yang dilakukan adalah tabulasa personal. Berenang didalam matanya adalah kebajikan. Memandangnya adalah keimanan akan kebesaran Tuhan.

Peran itu menuntunku untuk bercerita tentang Wildan dari sisi yang lebih rasional dan logis, dimana melalui cerita tersebut aku berharap orang lain mendapat informasi dan pelajaran tentang autisme dan penyandang autis. Melalui peran itu, blog ini juga ingin melakukan kontrol sosial, terutama pada gerakan warga minoritas. Bagaimana masyarakat yang dilegalkan oleh negara masih melakukan diskriminasi pelayanan pada warga minoritas yang perlu perlakuan khusus. Namun kujaga seobjektif mungkin apabila terjadi hal yang sebaliknya, terutama setelah anak-anak sekolah (TK dan SD) mulai dibiasakan menerima kehadiran anak-anak berkebutuhan khusus, berinteraksi, dan saling mengenal diantara mereka. Sekolah Inklusi adalah pilihan yang tepat.

Begitulah........
Semoga semua pihak bisa mengambil hikmah apa yang tersajikan dalam blog ini.

Senin, 15 Februari 2010

Pelajaran Sekolah

Tanggal 10 Februari lalu, usia Wildan persis 14 tahun. Alhamdulillah.......sepanjang usianya, banyak sekali hikmah yang bisa kami ambil. Kehadirannya adalah ayat-ayat Allah yang sangat panjang, yang mesti dihayati dan dijadikan sebagai hikmah. Semoga, hidup yang akan dilaluinya kedepan selalu membawa kebaikan. Amin.

Hadiah istimewa di usia ke 14 ini adalah Wildan mulai menerima pelajaran sekolah setara dengan kelas 3 SD. Ada 10 pelajaran. Olah raga, bina diri, Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Matematika, Pendidikan Agama Islam, kesenian dan keterampilan, kesehatan, Kewarganegaraan. Tetapi satu hari cukup dua pelajaran saja. Belum ada yang bisa saya ceritakan tentang pelajarannya itu karena mulai diberlakukan hari senin, 15 Fenruari 2010.

Hari ini saya antar-jemput Wildan sekolah. Masa waktu kujemput pulang, Wildan gak segera mau pulang. Dia malah sibuk makan kue sementara saya menunggu di luar ruangan. Satu ruang khusus Wildan berisi 3 siswa dengan tiga guru plus satu guru bantu. Dilihat dari kondisi itu, kurasa pelajaran bisa sangat efektif. Tapi kami para orang tua anak-anak berkebutuhan khusus menyadari betul, bahwa anak-anak kami memiliki kemampuan spesifik. Tidak selalu bisa mengikuti semua pelajaran. hakekat sekolah inklusi adalah memberi pengalaman anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar pada lingkungan yang "normal", sebaliknya bagi anak-anak yang "normal" kehadiran program inklusi adalah memberi pengalaman bahwa disekitar mereka ada anak-anak berkebutuhan khusus. Jadi, kami tidak menuntut apa yang bisa dicapai oleh anak-anak kami harus sama dengan yang lain. Melainkan memang spesifik, dan sesuai dengan kompetensi anak masing-masing.

Saat ini, Diknas sedang membahas tentang model ijazah atau kompetensi ijazah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. itu langkah maju sebagai salah satu penghargaan dan pengakuan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Saya pribadi berharap, ijazah atau penentuan kelulusan anak-anak berkebutuhan khusus disesuaikan dengan kompetensi anak, bukan semata-mata kompetensi Sekolah Dasar secara umum. Disinilah tugas orang tua bahu membahu dengan pihak sekolah untuk menemukan dan menumbuh kembangkan kompetensi anak dengan kebutuhan khusus. Kita tunggu saja, bagaimana Diknas mengapresiasi pendidikan anak berkebutuhan khusus. Semoga Allah memberi hidayah dan jalan yang terang benderang.

Kamis, 04 Februari 2010

Hari-Hari Sekolah Kembali

Minggu ini Wildan memulai kegiatan baru. Sekolah di SD inklusi. Meskipun letaknya agak jauh dari rumah, sekitar 3 km...Wildan selalu berangkat sekolah dengan riang gembira. Apalagi sepanjang jalan antara rumah dan sekolahnya melewati daerah yang masih bisa dibilang sepi, jauh dari keramaian. Suasana alam masih terasa. Maklum, daerah sepanjang jalan itu adalah daerah yang baru menjadi target pembangunan Kota Batu. Masih banyak sarana prasarana yang baru. Jalan baru, bangunan baru, kantor pemerintahan baru.....Bisa dibilang, melewati daerah tersebut kita masih bisa merasakan kesegaran dan udara yang sejuk. Pemandangan luas. walau mulai muncul beberapa perumahan yang menggusur tanah-tanah produktif pertanian. Suasana pagi dengan ilustrasi jalanan yang kami tempuh ke sekolah, sungguh dinikmati betul oleh Wildan.

Setiap pagi, begitu bangun tidur..tidak peduli bangunnya masih agak petang, Wildan langsung mandi, lalu ganti baju seragamnya!. Bahkan sambil menunggu yang ngantar selesai berdandan, Wildan sudah siap di mobil ha..ha.... Hal yang membuatku paling suka, Wildan selalu disiplin untuk mau sarapan sebelum sekolah dan tentu selalu disiplin cek tasnya sudah ada kue bekal apa tidak ha..ha..

Kegiatan disekolah diikuti dengan gembira. Jam pertama, Wildan akan ikut senam pagi bersama di halaman sekolah. Meskipun gerakan senamnya agak tidak beraturan dan tidak mengikuti persis gerakan sang instruktur...tapi Wildan nampak berusaha mengikuti sesuai dengan musiknya. Terutama saat gerakan tepuk tangan dan berteriak "HHHHUU!". Agak lebay juga karena Wildan terlalu banyak tepuk tangan dari yang seharusnya. Gak apa deeeeeh...yang penting happy. Betul gak?. Cuman saya agak gak enak sama bu guru instruktur niy...karena Wildan nampak menonjol karena paling gede dan gerakannya paling beda....anak-anak yang lain jadi sering menoleh lihat Wildan daripada mengikuti gerakan.

Setelah senam selesai, Wildan masuk kelasnya. Lepas sepatu dan kaos kaki...lalu meletakkan sepatu di rak sepatu. Dimejanya sudah siap buku warna dan aneka pewarna. Kelas yang menyenangkan. Karpet biru di lantai, dinding dengan warna hijau biru yang cerah. Meja belajar yang besar dengan beberapa kursi disekelilingnya, satu alat music (elektone), TV dengan monitor LCD, bola-bola untuk rehap medis, kamar mandi yang bersih dibalik tembok...membuat anak-anak berkebutuhan khusus nampak merasa nyaman. Sebentar lagi Wildan akan melengkapi kelas tersebut dengan komputer. Harapan dengan adanya komputer, Wildan bisa memiliki kegiatan yang lebih variatif. Apalagi pihak sekolah telah menunjuk shadow dari pihak sekolah sendiri yang memiliki kompetensi mengoperasionalkan komputer. Semoga berjalan seperti yang diharapkan. Amiiin.

Selanjutnya, akan kita ikuti bagaimana proses belajar mengajar untuk Wildan. Namun tidak kali ini saya tuliskan karena masih terlalu dini untuk dikomentari. Ada beberapa yang masih perlu dikonfirmasi dan masih dalam proses yang masih sangat dini. Sabar yaaaaa....

Jumat, 22 Januari 2010

Kalau Wildan Sakit

Adakah pelajaran yang bisa diambil dari seorang penyandang autis?. Jawabnya tentu saja ada dan banyak. Salah satunya adalah ketika dia sakit.

Sepanjang hidup Wildan ini, ada beberapa kali dia mengalami sakit. Seperti anak-anak pada umumnya, sakit flu..diaree..batuk...pilek..demam...gatal/alergi...luka terbuka...sakit mata...dan infeksi luka..juga dialami oleh Wildan. Semoga tidak ada penyakit yang aneh-aneh. Amin ya Allah.

Teman-teman sering bertanya, bagaimana bila Wildan sakit?.
Subhanallah...Allah memang Maha Adil dan Bijaksana.
Penyandang autis, konon memiliki ambang rasa sakit yang dalam. Artinya dia lebih kuat bertahan dibanding rata-rata anak biasa. Mungkin dalam kasus Wildan itu benar. Dia sangat cool dan mandiri saat sakit. Tidak pernah merengek...manja...dan rewel.

Baru saja dia kena "cantheng". Itu loh, luka di kuku kaki. Biasanya di jempol. Nah sebulan dia canthengen di jempol kaki sebelah kanan. Kukunya menghujam ke daging, nampak berusaha mengelupas, daging disekitar kuku bengkak. Pastilah rasanya cenut-cenut. Namun begitu, Wildan tidak pernah menangis, Dia tetap beraktivitas sperti biasa, mandi seperti biasa, dan tentu pake kaos kaki seperti biasanya. Bedanya hanya dia minta jempolnya selalu diperban. Kalo tidak ada yang tahu, dia akan ganti sendiri perbannya setiap kali habis mandi atau perban sdh nampak kotor. Ketika kami belikan obat oles dan salep...dia juga gunakan salep itu sendiri, tdk perlu nunggu ditolong. Jadi teringat saat dia sunat. Wildan merawat sendiri luka sunatnya itu. Bahkan tidur tidak mau ditemani siapapun. Kemandiriannya patut disyukuri.

Kuamati dan kuingat-ingat pelajaran darinya dalam menghadapi sakit.
Wildan lebih banyak minum air putih manakala sakit. Lebih banyak tidur. Makan tetap teratur. Dan tertib minum obat apabila memang disediakan obat. Sangat jarang kami memberi obat-obatan yang diminumkan kecuali sangat terpaksa. Alhamdulillah, sejauh ini cepat sekali sembuhnya. Mungkin karena dia selalu pakai kaos kaki di rumah. Sepanjang waktu. Hanya dilepas manakala keluar rumah dan ke kamar mandi.

Hunting Sekolah Inklusi

Selasa, 19 Januari 2010

Hari ini saya ijin untuk tidak ke kantor. Ingin kuhabiskan hari bersama Wildan. Hari ini sehabis ngoreksi dan menyelesaikan entry nilai, kuajak Wildan ke sekolah. Siapa tahu ada yang cocok.
Tidak terperi betapa senang dan ceria wajah Wildan begitu kubilang, "Wildan, ayo kita keluar. Ganti baju, nak". Tanpa dua kali, Wildan segera memilih bajunya sendiri. Dia sudah tahu mana baju untuk pergi dan mana baju untuk di rumah.

Kamipun meluncur ke arah Kota Batu melalui kecamatan Junrejo.
Sekolah pertama, sebuah SD Negeri yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Terpampang plang sekolah "SD Inklusi" (artinya menerima murid dengan kebutuhan khusus, seperti Wildan). Nampak beberapa murid mengenakan baju olah raga sedang siap-siap pulang. Wildan langsung mau ke halaman sekolah dan berlari ke dalam. Gerakannya agak tak terkendali kesana-kemari mengintip ruang demi ruang. Ada beberapa bangunan yang sedang diperbaiki. Rupanya SD ini juga merupakan SD satu atap dengan TK.

Kuajak Wildan memasuki ruang Kepala Sekolah yang agaknya sedang sibuk dengan berkas-berkas. Namun, blio dengan ramah mempersilahkan kami masuk. Diantara kewalahan dengan gerakan Wildan kuutarakan maksud kedatangan kami. Kepala Sekolah merespon dengan baik dan memanggil salah satu guru inklusi.

Wildan berlari tertawa-2 letika guru inklusi datang. Blio mengejar Wildan (mungkin juga semacam penjajagan). Kesempatan itu kugunakan lebih banyak konsultasi dengan Kepala Sekolah. Pada dasarnya ketika sebuah sekolah sudah memasang "Sekolah Inklusi" maka mereka sudah berkomitmen menerima murid-2 berkebutuhan khusus. Artinya tidak boleh menolaknya. (teringat bagaimana dulu tahun 2002 dan 2004 Wildan ditolak oleh TK Swasta di daerah Dinoyo dan Sengkaling dengan alasan para Orang Tua Wali murid-2 yang "normal" keberatan). Kebetulan sang Kepala Sekolah dan guru inklusi SD ini baru mengikuti Seminar Autis. Jadi penerimaan mereka sangat baik terhadap maksud kami. Namun, ketika Wildan dan guru inklusi masuk bergabung dengan kami....ada semacam kesimpulan awal, bahwa sang guru merasa kewalahan dengan perilaku Wildan yang memang nampak over acting itu. Maklumlah, sekarang Wildan lebih tinggi daripada saya. Blio bilang, Wildan sebaiknya ditemani shadow (er) bila jadi sekolah di sini.

Ya, saya bisa maklum pada saat itu, Wildan nampak liar atau over acting begitu. Sementara SD ini masih memiliki guru inklusi yang terbatas. Hanya satu. Lulusan Fakultas Psikologi. Tapi masih sukwan. Begitu pula sarana atau fasilitas kelas inklusi yang masih sangat jauh dari ideal. Berdasarkan pembicaraan dan evaluasi tersebut, Kepala Sekolah menyarankan kami melihat dulu sekolah yang lain. Blio memberi rekomendasi dua sekolah lagi.

Syukur Alhamdulillah...sekarang sudah banyak SD inklusi di Batu dan Kota Malang. Bahkan sudah ada SMP inklusi. Ini kemajuan luar biasa, mengingat pada tahun 1999-2000 kami yang bergabung di HOPA (Himpunan Orang Tua Peduli Autis) begitu nelangsa manakala anak-anak kami ditolak oleh sekolah-sekolah (TK dan SD). Sementara sekolah autis juga masih terbatas jumlahnya. Di Malang Raya saat itu hanya ada dua sekolah autis. Hingga tahun 2004 kemudian mulai bermunculan sekolah autis dan anak berkebutuhan khusus. sepengetahuan saya sekarang di Kota Malang sudah ada tujuh sekolah autis dan di Kota Batu ada satu. Tahun 2007 mulai menggembirakan ketika banyak SD mengajukan diri dan ditunjuk oleh Diknas untuk menjadi SD Inklusi.

Wildan sendiri sudah pernah masuk TK Inklusi selama dua tahun, yaitu di TK Dharma Wanita Dinoyo (belakang RSI Unisma Dinoyo). terimakasih kepada para guru di sana yang dengan penuh empathy, kasih sayang, dan pengertian menerima Wildan. Keluar dari TK Dharma Wanita, Wildan masuk SD Inklusi. Namun, dia tidak mau masuk bahkan melewati gerbang sekolah saja dia sudah memberontak. Entah karena apa. Yang jelas pernah saya mengantarnya, Wildan hanya boleh mengikuti olah raga dan dia tidak punya bangku di kelas. Sekolahnya hanya sebatas halaman sekolah. Bahkan tas bawaannya hanya bisa ditaruh di bangku semen yagn ada di halaman sekolah. begitu pula dengan seorang teman Wildan yang juga autis. Hanya bangku semen di halaman sekolah yang menjadi bangku mereka. Mungkin karena itu Wildan tidak mau sekolah disitu. Dia merasa tidak dikehendaki. Tidak ada guru yang menyambut kedatangannya. Saat kuantar itu, pas murid-2 latihan upacara dan berbaris. Mereka tiba-2 bubar untuk menyambut Wildan, namun ekspresi guru olaha raga namak tidak suka dan memarahi murid-murid.

Setelah itu Wildan hanya sekolah di rumah. Guru dari sekolah autis datang ke rumah bergantian, sampai Wildan sendiri yang menolak mereka. Kami cari lagi sekolah SD Inklusi. Ada lagi yang menjajikan Wildan bisa diterima. Saat kami datang, SD tersebut sedang renovasi kantor sehingga kelas inklusi semenetara menunggu kelas baru, digunakan sebagai kantor. Kepala Sekolah menerima dengan baik dan kami diperkenankan melihat-lihat kelas inklusi "darurat". Nampak sangat tidak layak, menempati ruang yang sangat sempit, pengap, dan tidak sehat. Tentu saja Wildan tidak akan suka. Benar saja, pada hari yang lain...kami ajak Wildan ke SD tersebut...Wildan hanya menangis. Hari-hari selanjutnya, bahkan Wildan tidak mau masuk melewati gerbang sekolah!.

Hari ini, harapan baru muncul dalam langkahku menunjkkan pada Wildan ada sekolah inklusi yang bagus dan akan membuatnya betah. Kamipun meluncur ke SD Negeri Tlekung 2 yang baru mendapatkan bantuan pemerintah sekian ratu juta untuk menangani kelas inklusi. Disebuah halaman sekolah yang berlokasi di sebuah perkampungan, kuparkir kendaraan. Wildan turun dan mulai menuju satu tempat. Ada beberapa guru puteri seperti habis sholat dhuhur. Salah satu langsung merangkul Wildan dan mengajaknya salaman. Suasana begitu ramah. Sayapun mengutarakan maksud kedatangan kami secara singkat. "saya Kepala sekolahnya", begitu jawab dari seorang guru yang tadi merangkul Wildan. Lalu dengan penuh semangat kepala sekolah mengikuti kemana Wildan melangkah, dan penuh sayang Wildan dipandu ke kelas Inklusi. Ruangan yang menyenangkan dengan warna dan gambar yang ceria. Ada tiga guru yang masih muda sedang mengerjakan sesuatu, bersamaan menyapa Wildan dengan bersahabat. Wildanpun mulai mengeplorasi ruangan tersebut. Sesekali dengan tiba-2 Wildan berpindah ke ruang lain. Mengintip dari jendela dan atau berusaha menengok dari pintu. Seorang guru lelaki mengajaknya bermain bel sekolah (kemudian saya tahu itu guru agama). Suasana jadi sangat menyenangkan dengan semua orang bertanya dan menyapa kami.

Sayapun diajak ke ruang Kepala Sekolah, sementara Wildan dibiarkan mengekplorasi sekolah dengan pengawasan mata semua orang yang ada di sana. Terasa, kami merasa enjoy. Ini yang penting bagi anak autis. Dia akan memilih sendiri sekolahnya!.
Dalam hati saya merasa Wildan bakal suka di sekolah ini.
Hasil pembicaraan menyimpulkan, kami akan mencoba Wildan sekolah di sini mulai 1 Februari.
Ya Allah......semoga ini adalah yang terbaik yang Engkau pilihkan.

Maafkan Mama


Sabtu, 16 Januari 2010.

Pagi ini saya terlambat berangkat ngantor. Gara-gara Wildan menghalangi terus.
Pertama, saat mau mandi...dia merebut handukq dan segera menaruh di jemuran. Meski sambil tertawa-2 menggoda, saya mengerti Wildan ingin saya tetap di rumah. Tapi apa daya, hari ini harus menguji skripsi. Kedua, Wildan mendorong-2 saya untuk ke tempat tidur. Ada ayahx disitu. Rupanya Wildan mengatur supaya saya dan ayahnya tetap tidur biar masing-masing tidak berangkat kerja. Bahkan untuk meyakinkan kami tidak berangkat, Wildan duduk di kakiq sementara kakinya sendiri ditumangkan ke dada ayahnya.

Wajahnya yang jenaka dan gayanya yang tak berdosa, membuat kami tertawa sumbang. Sisi satu terus terang kami merasa geli dengan tingkah polahnya, namun disisi yang lain kami merasa sangat bersalah seringkali meninggalkan Wildan di rumah. Apalagi sejak dia tidak mau lagi sekolah dan les melukisnya berhenti. Praktis sehari-hari Wildan hanya di rumah sama pembantu. Sementara adiknya datang dari sekolah jam 12.30 WIB. Saya datang jam 16.00 WIB. Begitu pula ayahnya yang bisa seharian di luar rumah.

Akhir-akhir ini, volume pekerjaan saya meningkat. Bercanda dengan Wildan ketika pulang sampai dia tidur jam 21.00 WIB kami kira sudah cukup. Rupanya, bagi Wildan ada sesuatu yang hilang. Dan dengan caranya dia menyibukan diri sendiri. Dan dengan caranya dia mengingatkan kami bahwa dia perlu sesuatu yang lebih. Tidak jarang ketika saya akan bangun pagi, Wildan segera menyelimutiku kembali....mengharap saya kembali tidur yang itu artinya tidak keluar rumah. Kutatap wajahnya dalam-dalam...mencoba menyelami apa yang dirasakan pagi ini.

Dalam sunyi sapamu,

mata hatimu menakar kasih.

Dalam gerak ceriamu,

batinmu menangis sedih.

Aku yang keterlaluan,

menyangka engkau baik2 saja.

(Maafkan mama, nak)