Minggu, 23 Januari 2011

Penanganan Non Medis

Autisme menurut kalangan medis adalah penyakit neuro biologis. Oleh karena itu ditangani secara medis. Efek dari penyakit tersebut mengharuskan intervensi psikologis. Namun tulisan kali ini tidak mengulas lebih jauh tentang hal tersebut. Saya ceritakan pengalaman-pengalaman usaha penanganan non medis. Apa yang telah kami alami sungguh banyak pelajaran.

Awal kami sadar Wildan ada "kelainan", yaitu ketika usia 1.5 tahun perhatian lebih pada keadaan tidak mau bicaranya. Mengikuti tradisi, banyak yang menyarankan untuk menangani lidahnya dengan cara di kerik dengan cincin, atau sendok. Lucu juga kepercayaan tersebut, namun kami lakukan juga hehe....Kata tradisi, saat yang tepat untuk melakukannya pada saat malam jum'at legi. Dan ada seorang ibu yang dipercaya bisa melakukan itu dengan baik karena cincinnya dari Makkah! :). Tidak terlalu lama kami melakukannya, hanya sekitar 3 kali jum'at legi.

Setelah terapi autis di Surabaya dihentikan dan Wildan cukup satu sebulan sekali ke psikiater, intervensi dilakukan oleh guru terlatih (waktu itu lulusan speech therapist) di rumah, kami mulai mengupayakan pengobatan dengan pijat syaraf. Sang pemijat, seorang pensiunan yan diyakini masyarakat memiliki keahlian tersebut berada di Desa Dengkol-Singosari. Seminggu dua kali kami bawa Wildan ke sana. Biasanya yang dipijat adalah telapak kaki dan sekitar mata kaki, jari-jari dan lengan, serta leher khususnya bagian belakang. Daerah-daerah tersebut, kata pemijatnya untuk melemaskan syaraf-syaraf wicara dan "ketenangan". Bisa dibayangkan, bagaimana tingkah Wildan saat dipijat. Dia tidak bisa duduk tenang, dan beberapa kali harus dibantu dengan "pelukan kunci". Namun, san pemijat sangat telaten. Pemijatan dilakukan dengan mengikuti kemana Wildan berjalan dan melakukan sesuatu. Upaya ini cuma berjalan sekitar 3 bulan. Selama itu Wildan masih mengonsumsi obat-obatan dari psikiater.

Selanjutnya, ada masa "pengobatan" non medis dan medis berhenti total. Kami hanya mengandalkan pelatihan-pelatihan di sekolah ABK RSI Unisma dan intervensi sosial pada Wildan. Hingga pada tahun 2003-2004, saat saya di Bogor...ayahnya sering membawa Wildan pijat ke orang tua di Garum-Blitar dan Kediri sebulan sekali. Disela-sela itu juga dibawa ke pemijat terkenal di Sawojajar (tapi pengakuan ayah hanya dua kali karena antreannya panjang, Wildan tidak sabar). Menurut ayah yang bikin capek adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan sesama pasien tentang autisme hehehe...betapa tidak, dalam obrolan-obrolan tersebut banyak sekali ide aneh-aneh muncul. Misalnya ada yang mengomentari itu mungkin ada yang memberi guna-guna, dan saran-saran magic bahkan syirik.

Cerita-cerita menarik mengelilingi kisah pengobatan Wildan. Seperti suatu ketika, disaat istirahat di sebuah warung, ayah dihampiri seorang bapak yang tidak dikenalnya sama sekali. Dia bilang, ”Sudah mas, coba diminumi air kelapa hijau.”. Merasa kaget ayah bertanya, ”Maksud Bapak?”. Orang tersebut menimpali, ”Anaknya ada yang sakit kan?. Kelihatan sekali mas, anaknya ada yang sakit”. Ayah lansung deg. ”oh iya mas, anak sulun saya autis”. Bapak tersebut lalu menjelaskan bahwa dalam tubuh Wildan banyak racun, air kelapa hijau bisa menggelontor racunnya.

Akhirnya, kamipun mencari informasi tentang kelapa hijau. Awalnya beli eceran di jalan yang kami lalui sehari-hari. Tapi belakangan kami khawatir kelapanya tidak asli kelapa hijau. Lalu akhirnya saya mendapat teman yang bersedia membelikannya di Jagalan-Malang secara rutin dan Insya Allah benar-benar kelapa hijau. Pemberian air kelapa hijau berjalan rutin setiap hari selama 3 bulan. Wildan nampak menikmati sekali melihat kesibukan memecah kelapa, menampung air, dan segera meminumnya. Bahkan begitu habis magrib, seringkali justeru Wildan yang segera menyiapkan segala sesuatu berkaitan dengan ”ritual” pecah kelapa hahaha.

Tahun 2011 ini ada kisah yang menarik. Januari 2011 kami memiliki sahabat keluarga baru. Sepasang suami isteri yang sudah sepuh, namun sangat energik. Awal perkenalan kami adalah saat ayah akan mulai mengolah lahan untuk perumahan. Kebetulan lahan tersebut berada di depan rumah pasangan suami isteri tersebut. Tidak disangka ternyata bapak sepuh tersebut adalah seorang lulusan teknik sipil dan pernah menjadi pemborong besar. Sekarang sedang menikmati masa tua bersama isterinya. Nalurinya sebagai seorang tekniker bangunan mendorongnya untuk membimbing generasi muda. Kloblah dengan usaha ayah saat ini. Ayah dan Bapak tersebut langsung akrab. Begitupula isterinya, sangat perhatian pada ayah. Mereka berdua menganggap ayah sebagai anak. Sayapun dikenalkan. Kami sering cerita-cerita tentan keluarga, sampai kemudian mereka tahu tentang Wildan.

Malam itu, hari senin kami tunjukkan foto-foto Wildan. Mereka berkaca-kaca dan ingin bertemu Wildan. Subhanallah, besuknya selasa sore Wildan pulang ke rumah Areng-areng bersama nenek. Rabu pagi Wildan minta pulang lagi ke Batu. Saat diantar ke Batu, ayah mengajak Wildan singgah ke rumah pasangan suami isteri (kami memanggilnya Bapak dan Budhe) tersebut. Saya tidak ikut karena mendampingi mahasiswa yan mau pameran poster.

Kamis, ayah menyampaikan pesan bahwa Bapak dan Bude baru saja dari Donomulyo menemui ”guru spiritualnya”. Mereka bilang mencarikan ”tombo” untuk Wildan. Kata guru mereka, Wildan terhambat karena ”ari-ari”nya yang dipendam di dalam tanah, terhalang sesuatu misalnya batu atau apa gitu. Alamaaaak.....!. Kami terperanjat, khawatir akan terhampar jalan yang salah dalam kesyirikan. Sore itu sepulang kerja saya langsung ke lokasi lahan ayah serta bertemu Bapak dan Bude di rumah mereka.

Mereka ungkapkan perasaannya tentang Wildan, setelah bertemu Wildan pada tidak bisa tidur, mendiskusikan bagaimana membantu Wildan supaya lebih baik. Akhirnya Bapak dan Bude menempuh perjalanan jauh untuk bekonsultasi dengan guru spiritualnya itu. Hati kami berdesir....haru menyeruak melihat ketulusan mereka. Apa daya, rasanya tidak tega menolak ide mereka untuk rencana membongkar ari-ari Wildan dan memberi Wildan minum air putih dari sang guru. Malam itu kami pulang membawa air putih untuk Wildan. Bismmillah...jika memang bermanfaat, semua itu atas ijin Allah semata.

Seminggu kemudian, hari kamis juga. Sore, saya masih di kantor ketika sms ayah masuk, ”Ma, ternyata hari ini tadi Bapak dan Bude membuat tumpeng untuk Wildan. Yah, mereka selamatan untuk Wildan. Mama pulang kantor langsung ke rumah mereka ya.”. Betul-betul hati saya bimbang, antara ketulusan mereka dan keyakinan kami. Dalam perjalanan ke rumah Bapak dan Bude, adek bertanya, "Ma, kenapa sih kakak diselamatkan?". Saya senyum saja dengar bahasa adek itu. Singkat cerita, akhirnya hari jum’at pagi kami berempat ke Batu membongkar ari-ari Wildan. Rupanya ari-ari Wildan tertindih ari-ari adeknya. Kemudian bude memindah ari-ari adek di sebelah ari-ari Wildan. Entahlah......

Jumat, 21 Januari 2011

RINDU

oleh: Ayah


(Malam ini ayah minta di upload puisi karyanya untuk Wildan. Goresan perasaanya usai pulang kerja. Katanya saat itu wajah anaknya terbayan terus):

.......
Dalam pelukan pekatnya malam
Aku tunduk dalam diam
Sontak keheningan ini teraduk-aduk
ketika lintasan ingatan pada seraut wajah yang terasa amat dekat dengan sepenggal nyawaku
.......
W i l d a n
anakku

Tanpa ampun rasa rindu ini memenuhi dada dan kepala
Seperti masih baru kemarin kunikmati suara engaumu
Suara yang dapat membuat kepala terasa berat
Berat karena rasa cintaku
Aku rindu dengan suaramu itu

Tak lelah rasanya berusaha mencari di setiap sudut rumah
untuk sekedar mencari bau tubuhmu
terasa "eman" bila bantal bekasmu kubasahi dengan air mata yang akan menghapus bau tubuhmu

Sayang...
Sedang apa kau saat ini?

Ayah kangen
Toh seandainya kamu tidak bisa "normal" seperti anak yang lain,
ayah ingin engkau selalu di sini di rumah ini.
Ayah hanya inginkan itu. Tidak ingin apa-apa.

Tuhan,
bukannya aku tak rindu padaMU
bukannya aku takut untuk menghadapMU
tapi izinkanlah aku selamanya bisa mendampingi dia
selamanya.....
ya, selamanya.

(Hubungan ayah dengan Wildan hanya bisa mereka pahami sendiri. Kadangkala saya iri juga saat Wildan tidak menggubrisku saat ber"mesraan" dengan ayahnya. Dulu, saat Wildan masih suka "mengamuk", ayah selalu siapkan punggungnya untuk dilukai Wildan daripada Wildan melukai dirinya sendiri atau melukai orang lain. Pelampiasan seperti itu bisa meredakan emosi Wildan. Kadang saya juga jengah dengan ide-ide ayah seperti ingin donorkan otaknya pada Wildan. Begitulah ayah......yang dulu sering dibilang teman-temannya sebagai ayah yang jahat. Namun dengan "jahat"nya itu Wildan menjadi bisa banyak hal. Dan terutama Wildan sangat berterimakasih dengan kasih sayang ayah yang hanya terlukiskan pada pandang matanya saat menatap Wildan. Bahasa seorang ayah)

Rabu, 19 Januari 2011

Manusia, Objek Utama






Manusia menjadi objek yang paling banyak digambar oleh Wildan. Awalnya, dia gambar manusia tunggal, lambat laun mulai dua manusia dan tiga manusia. Seperti gambar-gambar yang saya unggah hari ini.


Bila diintepretasi "asal-asalan", gambar-gambar tersebut seolah mengesankan perkembangan sosial Wildan atau mengesankan proses penerimaan Wildan akan kehadiran orang lain. Gambar dengan objek tunggal adalah gambaran dunia "kesendiriannya". Gambar dengan objek dua manusia adalah gambaran dia sudah mulai bisa menerima orang lain dalam konteks hubungan antar personal. Sedangkan gambar objek manusia lebih dari dua adalah gambaran keinginan atau kesiapan Wildan hidup bermasyarakat.


Seperti kehidupan Wildan sendiri. Masa-masa "membuka" dunia kesendiriannya, Wildan sangat autistik, berpusat pada diri sendiri, menolak kehadiran orang lain, dan sibuk dengan dunianya seolah tiada orang lain. Keinginan adik (Ghulam) untuk bermain dengannya ditolak mentah-mentah. Saat adik menghampirinya, Wildan pergi. Bahkan tidak jarang sang adik mendapatkan tendangan atau amukan. Beberapa kali kami kecolongan menjaga adik saat secara cepat Wildan membenturkan kepala adik, menendang dada, atau menjambak.

Namun usaha adik yang selalu gigih, dan penuh kasih pada Wildan akhirnya membuahkan buah yang manis. Adik adalah sahabat pertama dan utama bagi Wildan. Tidak jarang adik menghandle tugas kami dan pembantu dalam menjaga Wildan. Menemaninya, membersihkan kotoran, memandikan, menyiapkan makanan, bermain, bahkan juga mengajari keterampilan-keterampilan mengurus diri sendiri (mandi, cebok, memasak). Usaha itu berbuah manis karena Wildan jadi "patuh" pada adiknya. Konsep "patuh" adalah hal yang sangat penting bagi intervensi pada anak autis. Dengan kepatuhannya, kita bisa lebih lanjut "mengarahkan" perilaku anak-anak autis. Saya pernah tulis: adik adalah therapist yang paling significant bagi Wildan.

Sejalan dengan usia dan pengalaman kehidupannya, Wildan juga mulai belajar hidup bermasyarakat. Hal ini berlangsung pesat pada tahun 2004. Dia memiliki "sahabat" di luar keluarga intinya. Masuk dalam kerumunan dan kegiatan warga mulai dilakukan Wildan. Beberapa tetangga mulai berani menerima kehadiran Wildan, dan bahkan mulai melibatkan Wildan dalam kegiatan bersama. Wildan juga nampak enjoy berada ditengah-tengah mereka. Kadang Wildan juga iseng, menggoda mereka. Misalnya, menubruk dengan sengaja, minta pangku, mencium, minta gendong, atau meminta tolong sesuatu. Suatu perilaku yang sebelumnya tidak dilakukan Wildan pada orang di luar anggota keluara inti.

Begitulah saya mengaitkan ambar-gambar objek manusia dengan perkembangan kehidupan relationship Wildan.

Rabu, 12 Januari 2011

Pulang Hanya Semalam

Selasa, 11 Januari 2010 jelang magrib.....ayah membawa rombongan dari Batu. Kejutan, selain ibuk (nenek) dan adek, Wildan ada diantara rombongan tersebut!. Ini kali pertama Wildan pulang ke areng-areng tanpa rewel. Konon, keinginannya pulang atas kemauan sendiri saat ayah menjemput adek dari liburan di Batu.

Waduh..tak terkira senangnya hati kami semua. Melihat Wildan di rumah, rasanya nafas ini berhenti karena kekhawatiran dia rewel minta balik Batu. Sejak dia masuk rumah dengan ceria, semua orang harus menjaga ucapan dan sikap, jangan sampai ada yang menyinggung soal rumah Batu atau membuat hatinya "tidak berkenan" hehehe.

Wildan masuk rumah. Hal pertama yang dilakukan adalah memeriksa semua ruangan. Lalu dia hidupkan televisi, dan menyiapkan laptop di meja. Beberapa menit kemudian, dia sudah sibuk dengan game di laptop. Malam itu, saya tidak bisa berlama-lama bersamanya. Sebab, sudah ada janjia dengan dokter di Lavalette. Saat pulang dari dokter, pas di Dinoyo 7 km dari rumah ayah sms supaya kami tidak masuk rumah dulu sebab Wildan baru saja rewel minta balik ke Batu dan saat itu sedang "dibaringkan" supaya segera tidur dan melupakan keinginannya. Oalah...repot amat yach :).

Saya pun jalankan mobil pelan-pelan. Mampir beli terang bulan, mampir ke minimarket untuk mengulur waktu. Begitu masuk jalan ke kavling rumah, saya sms ayah memastikan apakah Wildan sudah tidur?. Eh, ternyata belum. Akhirnya mobil saya parkir agak jauh dari rumah, dan pelan-pelan kami lewat belakang rumah langsung ke dapur. Pintu masuk rumah induk hanya satu di belakang. Kami menunggu di dapur. Mata sudah sangat mengantuk, jam 22-an Wildan belum juga tidur. Akhirnya saya tertidur di dapur. Entah berapa menit lamanya, saat kemudian dibangunkan ayah. Sayapun masuk rumah walau Wildan belum tidur. Tapi tidak berani menengok ke arahnya, takut dia mengerti bahwa mobil sudah pulang dan dia minta antar lagi ke Batu. Tidak kuat dengan kantuk dan capek, saya langsung tidur di kamar.

Esok pagi, Wildan kesiangan bangun. Sementara saya siap-siap masuk pagi karena harus cek anak-anak PR yang mau pameran Poster hasil pertanggungjawaban Praktik PR (baca beritanya di: www.umm.ac.id/umm-news-1783-pertanggung-jawaban-praktik-pr-lewat-poster.html). Tentu saya tidak berani membangunkannya. Pelan-pelan kuberbaring sejenak disamping Wildan. Rasanya ingin memeluknya. Posisi tidurnya lucu sekali, menjingkrung hehe. Tidak berapa lama dia bangun, kesempatan segera menciumnya. Lalu saya siap-siap ke kantor. Waktu saya berangkat, Wildan baru saja usai mandi. Kupamiti, dia salim dan cium pipi.

Seharian kemudian, saya menenggelamkan diri dengan tugas-tugas di kampus. Sore jam 16.30 pulang. Malas rasanya karena sudah tahu dari sms ayah, bila Wildan, adek, dan nenek telah kembali ke Batu pagi saat saya di kantor. Masuk rumah jam 17.15, suasana lenggang. Yah, konon Wildan minta ikut kembali ke Batu karena nenek waktu itu akan pulang sebab ada urusan mengerjakan tugas-tugas Koperasi IBU. Begitu Wildan lihat nenek siap pulang, dia segera memberesi barang-barangnya: laptop, buku, dan celana panjang. Semua dimasukkan tas dan dia siap ikut kembali ke Batu. Akhirnya adek juga ikut ke Batu karena masih liburan.

Begitulah, rasanya seperti mimpi saja Wildan pulang...tidur rumah hanya semalam. Saya kecele'. Kupikir si dia sudah mau pulang, ternyata hanya menengok rumah. Bantal dan kasur belum sepenuhnya bau dirinya......