Selasa, 25 Maret 2008

Buah Karya Wildan




Wildan seringkali melukis apa yang dia lihat. Dalam hal ini ingatannya sangat kuat. Ketika dia dalam perjalanan, ketika melihat lingkungan sekitar, televisi, bahkan ketika dikhitan-pun dia tuangkan dalam gambar. Lengkap dengan dokter dan guru pendamping yang memegang dia ! Juga ada beberapa lukisan tak beraturan, yang perkiraan kami adalah lukisan tentang "dunia lain" milik dia.

Jumat, 07 Maret 2008

Wildan perlu pendampingan yang tepat

Ketika pertama kali mendengar vonis Dokter bahwa Wildan menderita autis, saya dan suami tidak bisa berkata apa-apa... Kami bingung harus bagaimana. Pada waktu itu tahun 1998, pengetahuan tentang autis sangat terbatas. Bahkan dua psykiater yang kami datangi tidak bisa mendeteksi kelainan Wildan saat itu. Informasi tentang autis justeru saya dapatkan dari majalah Intisari yang sudah menjadi langganan kami sejak 1975.

Begitupula tentang sekolah atau pusat terapi autis yang masih sangat terbatas di Jawa Timur. Kalau tidak salah hanya ada tiga saat itu di Surabaya. Bahkan di Kota Malang belum ada kecuali yang bergabung dengan anak-anak retradasi Mental. Setelah mengalami berbagai macam kesulitan dan keterbatasan (suka duka mempunyai/merawat anak autis) kami akhirnya mencoba berpikir jernih...
Selain dg terapi dan sekolah autis. Kami beri kebebasan Wildan seperti saya menganggap bahwa Wildan adalah seperti anak pada umumnya. Bermain bersama teman, tetangga, ke warung, bersosialisasi dengan masyarakat, kita ajak ke rumah teman-teman, dll. Kami menganggap apapun yang dilakukan Wildan asalkan dia bahagia, kita ok ok saja.
Untungnya hal ini ditunjang dg bantuan yang sangat luar biasa dari adiknya yang tidak autis. Bagaimana adiknya, Ghulam, bisa menemani Wildan dalam suka dan duka. Ini sangat berarti buat kami. Ghulam, adiknya seolah sejak batita harus menjadi 'terapist' bagi kakaknya itu.

Kami amati, Wildan sangat suka menggambar dimanapun dan kapanpun. Tiap dia mendapat alat
tulis, spidol, bolpoin, pensil dll dia akan menyalurkan hobinya dimanapaun, ada tembok pun jadi, kertas koran, buku diktat saya, buku pelajaran adiknya, bahkan secuil kertas dari dus kuepun tidak lepas dari aksi corat-coretnya.

Akhirnya kami berpikir bahwa Wildan perlu diberi arahan tentang hobinya ini. Sisi lain kemampuan akademik Wildan terbatas. Jadi kami harus mengembangkan kemampuannya yg terpendam --> kalo mungkin sih biar bisa jadi "keahliannya" kelak jika dewasa. Akhirnya Wildan kami beri fasilitas alat gambar dll. Les privat pada seorang pelukis yang memiliki sanggar lukis. Kami kumpulkan semua karya-karya wildan. Kami berharap suatu ketika Wildan bisa memamerkan lukisannya buat masyarakat. Misinya adalah meningkatkan rasa percaya diri Wildan dan anak-anak autis.

Senin, 03 Maret 2008

Catatan tentang Wildan (anak autis yang hobi melukis)

Anakku Super Cuek dan Tidak Mau Kontak Mata dengan Orang Lain.
Wildan Rizqya Lazuardi, anak laki-laki yang lahir di Kota Batu pada tanggal 10 Pebruari 1997. Wildan lahir dengan persalinan normal di usia kehamilan 9 bulan satu hari. Usia saya waktu itu adalah 27 tahun dan usia suami saya terpaut 2 tahun lebih tua dari saya. Bayi Wildan hanya berbobot 2 kg, termasuk kecil dan memang sudah diperkirakan oleh dokter pada masa kehamilan.
Sebagai bayi yang sangat mungil dan sebagai anak pertama, saya belum berani memandikan Wildan sendiri. Sehingga mempercayakan kepada orang lain yang terlatih untuk mememandikannya hingga usia 10 hari.

Perkembangan berat badannya sangat pesat menginjak usia 30 hari. Persis pada usia 50 hari, Wildan nampak gimbul dan dijuluki si bayi No Problemo seperti dalam iklan-iklan. Betapa tidak, minumnya sangat kuat. Karena air susu saya sangat tidak significant untuk membuatnya kenyang, maka Kami memberinya susu formula produksi Md dengan pertimbangan kadar mineral yang lebih tinggi dibandingkan susu formula lain. Pilihan pada Em, Ep, dan Ss sesuai dengan usianya. Porsi Wildan adalah 800 gram habis dalam lima hari.

Perkembangan motorik WRL nampak normal. Usia 6 bulan dia sudah mulai berusaha mengangkat kepala saat dibaringkan. Usia 8 bulan dia sudah bisa duduk. Merangkak juga pada usia yang semestinya. Belum genap setahun dia sudah berdiri merayap. Perkembangan motorik halus juga nampak normal. Memegang benda-benda juga sudah bisa pada usia yang semestinya.

Saat itu, ada satu perilaku WRL yang berbeda dengan bayi kebanyakan, yaitu WRL tidak pernah mau melihat orang-orang yang menggodanya. Bahkan cenderung sengaja melengos saat dipanggil atau ditatap wajahnya. Bayi WRL juga tidak begitu tertarik dengan bunyi-bunyi mainannya tapi dia sangat tertarik pada mainan yang berputar-putar. Bahkan lebih tertarik pada lambaian gordin jendela dan daun-daun yang terhempas angin daripada mainan anak-akan pada umumnya. Perilaku suka mlengos dan tidak mau merespon panggilan itu malah membuat gemess kebanyakan orang. Rasanya semua orang merasa lucu saja ada bayi kok cuek.

KAMI MULAI CURIGA
Sebenarnya, pada usia 11 bulan, WRL mulai berbicara, walau hanya satu kata. Yaitu ”ME” sebagai tanda dia minta minum. Dan pada usia 13 bulan kosakatanya bertambah satu, ”UDAH” bila dia ditatur untuk pipis. Namun, seiring usianya yang bertambah, kosakatanya tidak bertambah. Bahkan lambat laun hilang sama sekali pada usia 16 bulan dan dia hanya mengeluarkan suara saat tertawa dan menangis. Kami mulai khawatir dan semakin khawatir ketika masuk usia 2 tahun, WRL tidak juga berbicara dan semakin cuek dengan bahasa maupun kehadiran orang lain.

Berbagai komentar muncul disekitar kami, hampir semua memberi tanda untuk kebesaran hati, ”biasa..anak laki-laki...telat bicara” atau ”anak laki-laki memang biasanya jalan dulu..gak apa..biasa kok..”. Rasanya hanya Bapak saya (alm) yang sudah melihat adanya ketidak beresan pada diri cucunya. Beberapa kali Bapak mendesak supaya Kami segera memeriksakan WRL pada orang medis. Hal ini bisa kumaklumi, karena sejak Bapak pensiun, Bapaklah yang paling banyak bersama WRL pada saat kami bekerja pagi hingga sore. Tiap pagi, WRL diajak jalan-jalan sama bapak, meyusuri sawah dan taman bunga, lalu singgah di rumah sahabat-sahabat Bapak. Maklum cucu pertama. Apalagi sejak WRL usia 7 bulan, ayahnya berpindah kerja di Makassar dan pulang sebulan sekali, sementara kami tetap di Jawa dan pada saat WRL berusia 19 bulan, dia sudah memiliki adik. Maka perhatiankupun semakin terbagi dan terpecah, maka pelibatan Bapak pada cucu pertamanya itu sungguh suatu anugerah.

Pada saat usia WRL 2 tahun, Kami pindahan ke rumah sendiri, kira-kira 7 km dari rumah orang tua dimana selama ini Kami numpang. Suami memutuskan keluar dari tempat kerja supaya bisa berkumpul satu atap dengan Kami dan memulai usaha sendiri (wiraswasta). Kekhawatiran Kami semakin bertambah manakala WRL tidak menunjukkan kemajuan dalam wicara dan perilaku sosial. Dia juga memiliki kebiasaan-kebiasaan aneh yang bersifat ritual. Misalnya, setelah habis mandi, dia akan lari ke kamar tamu, menempelkan perutnya ke tembok, baru mau pake baju. Bila makan, dimeja makan kecilnya tersusun secara konsisten dengan urutan sebelah kiri tempat sendok, tengah kan minuman, dan sebelah kanan botol susu dengan posisi gambar menghadap dirinya. Pabila kami merubah posisi tersebut, maka WRL akan mengembalikan ke posisi semula.

Kekhawatiran itulah yang kemudian awal dari perjalanan panjang kami bersama Wildan.