Sabtu, 05 Februari 2011

Ritual Potong Rambut

Apa sih arti potong rambut bagi anak autis seperti Wildan?.

Mendengar “Potong rambut, yuk” bagi dia seolah sudah tertusuk sembilu sehingga segera Wildan menjawab dengan teriakan, “Tidak! Tidak!’” yang menyayat hati (ihh..lebay boleh dong).

Mungkin bagi Wildan potong rambut begitu mengerikan seperti gambar-gambar yang disimpannya di laptop, berikut:

Kami amati, Wildan selalu memilih gunting sendiri, dan apa yang dipilihnya tidak bisa diganti. Kalau dia ingin gunting yang gagangnya hitam ya hitam. Diganti yang gagang coklat, dia akan menolak dan apabila diteruskan dia akan rewel sehingga acara potong rambut terancam gagal!.

Seperti Minggu 30 Januari lalu. Berdua saya ajak dia ke tukang potong rambut. Saat kami masuk, masih ada seseorang yang potong. Wildan mengamati dengan seksama cara tukang potong bekerja. Apalagi saat menggunakan cukur listrik, dan kemudian cukur biasa untuk membersihkan rambut-rambut yang kecil di sekitar leher belakang. Begitu kain penutup badan mulai dibuka, Wildan tahu sesaat lagi pasti gilirannya. Dengan serta merta, Wildan segera memberesi alat cukur, cukur listrik, dan gunting seset….dimasukkannya dalam sebuah laci. Sehingga tinggal satu gunting bergagang hitam. Rupanya dia takut di cukur!. Jangan coba-coba menggunakan alat yang lain yang tidak dia pilih. Bisa gagal acara potong hari itu.

Saya pernah menulis tentang bagaimana tersiksanya saat-saat dia harus potong rambut. Saat usianya 3-4 tahun, kami harus “nggrebuk” di salon rambut hingga akhirnya ada satu salon saja yang dia mau masuk. Salon tersebut berjarak sekitar 10 km dari rumah kami. Itupun Wildan harus dirayu-rayu dengan diberi kebebasan memegang tabung semprotan air. Hal tersebut menjadi semacam ritual. Alhasil begitu tuntas rambutnya dipotong, sang pemotongpun mesti rela basah kuyub hehehe..

Usia 5-8 tahun acara potong rambut dilakukan di sekolah. Para pelatih (therapist) mencoba mengajak Wildan bermain ayunan. Sambil bermain itulah rambut dipotong sedikit demi sedikit. Biasanya memerlukan waktu tiga-lima hari terantung mood Wildan sampai kepalanya plonthos. Alhasil, bukan hal yang mengagetkan lagi selama tiga-lima hari Wildan melenggang dengan rambut blontang-blonteng di kepala. Kami putuskan untuk selalu menggundulinya supaya tidak sering-sering motong rambut lagi.

Tahun 2004 saat usianya 8 tahun lewat hingga usia 10 tahun, Wildan lebih kooperatif saat potong rambut. Tempatnya di sebuah salon kira-kira satu kilo meter dari rumah. Meskipun ketika dijak, ”potong rambut, yuk” dia masih jawab ”Tidak! Tidak!”, namun Wildan dengan sukarela mau masuk salon dan duduk di kursi ”pesakitan”. Ada ritual yang rupanya membuat dia senang, yaitu usai potong......dia langsung mandi di salon tersebut!.

Usia 10 tahun hingga 14 tahun, salon langganan pindah ke salon yang sangat populer dikalangan mahasiswa. Diajak ke salon tersebut, Wildan langsung mau nyaris tanpa perlawanan. Bahkan ketika harus antre, dia juga tidak rewel. Agaknya Wildan menikmati karena di salon tersebut banyak majalah. Sambil menunggu gilirannya, dan saat mulai dipotong rambutnya, dia asyik membuka-buka majalah yang penuh dengan gambar-gambar mode.

Alhamdulillah, sekarang usia 15 tahun Wildan bisa diajak potong di salon manapun. Asal...dia yang tentukan gunting mana yang akan dipakai. Astaga! Baru kepikiran saat menulis ini, kenapa kami tidak membawa gunting sendiri saja yaaa....barangkali Wildan lebih merasa enjoy.

Rabu, 02 Februari 2011

Matur Nuwun, Thank All of You

Sejak blog Wildan mendapat liputan Radar Malang, teman-teman dan handai taulan menjadi aware dengan keberadaan blog tersebut. Gelombang dukungan dari teman-teman dan handai taulan menjadi semangat sekaligus menjadi koreksi kami. Bukan bermaksud lebih dari sekedar expose, sebenarnya liputan Radar Malang (RM) itu melalui proses timbang menimbang dengan sang redaktur.

Begini ceritanya; Suatu sore saya dapat telepon dari redaktur RM yang menyampaikan ide untuk liputan tersebut. Mula-mula saya tidak bersedia karena merasa apa yang telah kami lakukan belum layak sebagai tauladan. Saya diskusikan dengan ayah. Pertimbangan ayah adalah sudah saatnya juga masyarakat mendapatkan informasi yang faktual. Selama ini seolah-olah media massa terlalu “memberi mimpi” kalau mengekspose penyandang autis. Hanya keberhasilan-keberhasilan spektakuler. Padahal, bisa jadi fenomena yang belum “berhasil” juga banyak.

Kasus penyandang autis bermacam-macam. Sama dengan penyakit yang lainnya…..ada gradasi tingkat keparahan. Tentunya ada yang autis ringan, ada pula yang sangat parah. Bahkan ada yang “komplikasi” dengan kekhususan yang lainnya. Misal, ada penyandang autis yang disertai dengan hyperaktif atau hypoaktif. Autis disertai dengan down syndrome. Autis dengan tuna wicara. Autis dengan ….dsb.sederetan kekhususan bisa ditempelkan menyertai penyandang autis. Tapi ada jua penyandang autis yang berbakat (gifted), autis yang jenius, autis yang cerdas……dst.

Perpaduan-perpaduan di atas berkorelasi dengan akselerasi apa yang biasa masyarakat sebutkan sebagai “keberhasilan” setiap anak. Tentunya penyandang autis dengan beberapa kelebihan akan lebih mudah untuk “disembuhkan” (dalam bahasa saya sebenarnya bukan disebut penyembuhan, melainkan menuju “kehidupan normal” dalam kaca mata kebanyakan masyarakat.). Nah, bagaimana dengan anak autis yang justeru disertai dengan beberapa kelemahan?. Apa indikator segala upaya orang tua dikatakan “berhasil”?.

Saudaraku, itulah pertimbangan kami memutuskan untuk menerima tawaran redaktur RM. Wildan, merupakan salah satu penyandang autis yang belum kami temukan apa kelebihan utama yang bisa kami stimulasi demi “keberhasilannya”. Tidak selalu yang kami upayakan mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun dalam keterbatasan dan proses tersebut kami memiliki cara untuk mensyukuri dan memandangnya sebagai suatu progress, bukan sebagai suatu akhir dari proses.

Akhirnya, saya menghubungi Redaktur RM. Kami mau diliput dengan catatan liputan tersebut lebih mengekspose blog ini. Semoga dengan bantuan media Surat Kabar, niatan kami untuk berbagi bisa lebih meluas dan dapat diakses lebih banyak orang. Terimakasih kepada Radar Malang dan teman-teman besertai handai taulan yang mendukung kami.