
Sabtu, 05 Juli 2008
Gambar Optis Komputer

Selasa, 24 Juni 2008
Pelajaran Saat Listrik Padam Bagi Wildan
Sudah menjadi kebiasaan Wildan ‘berteman’ dengan televisi. Perilaku yang katanya sangat salah, tetapi kami tidak bisa merubahnya untuk Wildan. Di rumah kami, selama Wildan terjaga, televisi selalu hidup dengan tayangan dari stasiun tertentu yang dipilih Wildan. Jangan coba-coba merubah channel, apalagi mematikan televisi. Walau sekarang Wildan tidak marah-marah lagi, namun perubahan itu akan membuatnya tidak suka dan dia akan segera mengembalikan ke channel semula. Atau Wildan akan segera menghidupkan televisi kembali, walau dia tidak harus menonton apapun darinya.
Kembali ke soal listrik…..
Tiga hari senin berturut-turut, listrik padam pada sore-malam. Sudah bisa dipatikan Wildan akan menangis sepanjang listrik padam. Senin malam minggu lalu, listrik padam Wildan mulai rewel dan marah. Kami nyalakan banyak lilin di rumah, tidak juga meredakan marahnya. Lalu kuajak dia keliling mencari daerah yang tidak mendapat giliran dipadamkan. Rupanya desa sebelah, yaitu Jetak Lor gilirannya pada hari selasa. Maka, kuajak dia berkunjung ke desa tersebut. Kebetulan kami masih berhubungan baik dengan ibu kost yang dulu kami tempati rumahnya. Dua jam kami disana. Saat kuajak kembali ke desa kami, ternyata listrik masih dipadamkan. Akhirnya, kuajak Wildan ke warung yang ramai dimana kami harus antre untuk mendapatkan nasi goreng tiga bungkus. Tujuannya adalah mengulur waktu. Begitu listrik dinyalakan…..kami segera meluncur pulang…waktu menunjukkan jam 21-an.
Hari ini tadi, pagi…listrik sudah padam sekitar jam 07.30 WIB. Bersamaan dengan padamnya televisi, saat itu juga Wildan langsung nampak panik. Begitu sadar listrik padam, Wildan mulai menangis bercucuran air mata dan memintaku untuk memeriksa meteran listrik. Diriku yang sudah siap berangkat kerja terpaksa menahan diri. Di rumah hanya ada kami bertiga; Aku, Wildan, dan asisten rumah tangga. Rasanya tidak mungkin aku bisa pergi melihat Wildan mulai memukul-mukulkan kakinya ke lantai. Tidak jarang perilakunya itu membuat kakinya lecet-lecet dan harus di tensoplast. Sekitar satu jam Wildan dalam kondisi seperti itu dengan usahaku mencegah supaya kakinya tidak dibentur-benturkan. Padahal listrik akan padam minimal empat jam!. Kubilang apapun tidak didengar oleh Wildan.
Ditengah putus asa, kuputuskan untuk mengajak Wildan bicara panjang lebar terserah dia mengerti atau tidak:
“ Wildan..stop menangis!. Sekarang dengarkan mama.
Aku diam sebentar melihat reaksinya. Selama aku nyerocos dengan keras itu, dia membelakangiku, namun dia diam saja. Saat akan menangis lagi, segera kutimpali….
“ Hayo..menangis lagi…biar Wildan diketawain orang
Aku tidak peduli, dia mengerti atau tidak. Tapi….wildan hanya diam saja. Lalu dia renahkan kepalanya dipangkuanku.
“ Kalo wildan mau kegiatan,
Wildan berdiri..dan dia mengambil bukunya, lalu menuju teras. Dia duduk di sana sendirian. Aku tidak berani menyapanya, takut hanya mengingatkannya soal listrik yang padam. Akupun ke kamar. Membaca buku. Sesekali kutengok Wildan yang masih diteras melamun. Oh…kasihannya anakku ….. aku tidak jadi kerja setelah kukirim pesan-pesan pada para mahasiswa. Semoga mereka mengerti kesulitanku, walau terkesan tidak professional. Bissmillah….
Setengah jam kemudian, Wildan beringsut ke halaman dan menit berikutnya mulai enjoy mengamati para tukang yang sedang membangun rumah di depan rumah kami. Kira-kira satu jam Wildan di luar, dia masuk rumah dan menghampiriku. Ditangannya ada sebuah lilin dan korek. Aku nanar memandang anakku. Oh, dia tidak juga mengerti, namun dia belajar bahwa apabila listrik padam maka perlu menyalakan lilin. Kupeluk dia….dan kunyalakan lilinnya. Kuajak dia ke kamar dan kuminta menutup jendela dan pintu kamar, biar lilin nampak benar peruntukannya. Wildan pun puas. Lalu dia keluar lagi, kembali mengamati tukang-tukang bangunan bekerja.
“Wildan, mama kerja. Tidak boleh menangis soal listrik yang padam.
Saat berangkat, aku tidak menoleh lagi kebelakang sampai kantor. Aku percaya, Wildan bisa mencerna kata-kataku yang putus asa tadi dan dia sudah mendapatkan keasyikan tersendiri dengan tidak menggantungkan diri pada pemadaman listrik oleh PLN. Semoga kelak dia menemukan energi listrik pengganti sehingga tidak usah menggunakan jasa PLN yang sudah lama memonopoli di negeri ini.
Rabu, 11 Juni 2008
Dia Nampak senang apabila Kami Mengapresiasi Lukisannya
Sejenak, aku tak menyambut kedatangan Wildan sepulang les lukis minggu lalu. Tidak seperti biasanya memang. Biasanya sepulang les, dia selalu kuberondong dengan pertanyaan-pertanyaan walau tidak juga dijawab. Tapi hari itu aku malah sibuk dengan laptop mengumpulkan tulisan-tulisan dari situs Dewan Pers.
Sikapku itu baru kusadari setelah Wildan mondar-mandir dengan membawa gulungan kertas plano. Seperti biasa..mondar-mandir tanpa suara. Merasa agak terusik karena hadirnya sensasi gerakan Wildan, aku nyelutuk, “Wildan, ngapain yak ok jalaaaan saja. Ayo duduk..”. Ternyata adiknya yang menyahut,”Kakak lho ma ingin lukisannya dilihat”. Wow….akupun terhenyak…oh benar, dia memegang lukisannya yang baru!. Oh, anakku..maafkan ibumu ini…segera kuhampiri Wildan,”Oh..itu lukisan Wildan yang baru yaa..Lihat dong..". Wildanpun menyodorkan lukisannya yang masih tergulung. Kubeber lukisan besarnya seukuran penuh satu plano di lantai, dia tertawa meloncat-loncat dan kemudian bersamaku duduk di lantai melihat lukisannya. Lukisan manusia dalam garis-garis, dengan background warna coklat tanah. Manusia-manusia yang berjumlah 6 orang dalam bentuk nyaris garpu dan sendok itu kurasakan sebagai lukisannya yang paling original. Hati kecilku berbisik, lukisan kali ini khas coretan-coretannya saat di rumah.
Peristiwa hari itu membuat mengingat-ingat perubahan yang terjadi pada diri Wildan. Akhir-akhir ini Wildan nampak sangat senang apabila aku "pamerkan" pada setiap tamu yang datang dan bertanya tentang lukisan Wildan. Biasanya lukisannya akan ku beber di lantai. Maklumlah, hingga saat ini kami belum juga membingkai lukisan-lukisan Wildan. Padahal, tentu akan semakin membuatnya semangat, senang, dan terinspirasi apabila kami membingkai dan memasangnya di tembok-tembok rumah.....Maafkan kami pelukisku...
Jumat, 02 Mei 2008
Lukisan-lukisan Wildan


Kami berharap siapapun yang membaca blog ini bisa terinspirasi dengan karya-karya Wildan. Bahwa dengan segala keterbatasannya, anak autispun bisa berprestasi !
Selasa, 22 April 2008
Pilihan Dikotomis: Suka Mendol atau Tidak Suka!.
Mula-mula sangat sulit merubah menu makan Wildan. Ayahnya harus bertindak "super jahat" tanpa kompromi memaksa Wildan mencicipi dan menelannya. Sampai dia muntah-muntah. Usaha memasukkan nasi dan sayur ke mulutnya terus dilakukan secara konsisten. Sampai dengan minggu kedua, mungkin Wildan capek juga memberontak, dia mulai menurut dan agaknya memilih kompromi dengan memakannya tanpa paksaan lagi. Bahkan pada minggu-minggu berikutnya, dia mulai bisa menikmati nasi dan sayuran. Bulan berikutnya sampai sekarang terjadi perubahan drastis....dia mulai melahap semua jenis sayuran, khususnya yang berwarna hijau!.
Seleranya pada sayuran hijau sungguh diluar dugaan. Seolah Wildan ingin membayar 'hutang' empat tahun sebelumnya yang tidak kemasukkan satu sayurpun!. Paling disukai adalah sayur kangkung yang ditumis. Pada prinsipnya Wildan sangat alholic dengan masakan yang berbumbu bawang putih dan bawang merah yang digoreng. Sehari bisa habiskan satu unting sampai dua unting sayur hijau (di Malang, harga satu unting sekitar Rp.1000). Tidak jarang tumis kangkung dia makan tanpa nasi.
Soal lauk pauk, telur masih digemari terutama telur mata sapi dan telur dadar. Daging sapi dan daging ayam, asalkan lunak dia senang banget. Terutama daging ayam. Paling menghebohkan adalah saat dia menyukai lauk tertentu. Pada tahun 2007 adalah era maniac dengan lauk bakwan jagung manis. Saking demennya, sampai-sampai orang lain tidak boleh ambil lauk itu. Dia akan jaga saat jagung mulai dibersihkan, dia tungguin saat jagung di haluskan..bahkan dia pastikan jangan sampai ada yang tercecer ha..ha..., diawasinya saat kami goreng, trus tugas Wildan adalah meletakkanya di piring dan di 'kuasai'nya. Saya harus bilang, "Wil, minta jagungnya...". Baru dia beri, itupun dipilihkan yang paling kecil!.
Tahun 2008 ini dia sudah ogah-ogahan dengan bakwan jagung bahkan hampir tidak mau. Agaknya tahun ini akan jadi era maniac MENDOL. Tahu mendol?. Itu lho lauk dari tempe kedelai yang dibumbu dengan kencur, daun jeruk purut, tumbar, bawang merah, bawang putih. Dicampur terus dihaluskan, dikepal-kepal kecil (sebesar biji durian ukuran sedang) lalu di goreng eh...Wildan lebih suka dibalut dikit dengan tepung (kami campur dengan tepung tapioka atau tepung beras). Wah, menu mendol membuat Wildan gak bisa berhenti makan rasanya...tambah..tambah..dan terus tambah...Sampai-sampai demi kesehatan perut, saya hanya keluarkan mendol sejumlah cukup untuk makan sekali. Pas-nya Wildan sekitar 5-6 biji.
Perilaku Wildan dalam urusan makan ini memberi pengetahuan tentang karaktristik khas-nya. Yaitu cenderung ekstrem dalam urusan suka tidak suka. Bila dia suka akan sangat suka, bila dia tidak suka juga akan sangat tidak suka. Tidak ada satupun menu yang menunjukkan dia sedang-sedang saja suka-nya. jadi apa yaaa...selera makan Wildan itu hanya ada dua pilihan dikotomis: Hitam atau Putih. Suka atau Tidak.
Kamis, 17 April 2008
Pernak-Pernik Ritual Sebelum Tidur
Barang-barang tersebut terasa aneh karena keadaannya sudah 'bujubuneng', sementara Wildan begitu cinta sama barang-barang tersebut. Bantal warna merah misalnya, sudah berkali-kali bantal itu harus kami jahit. Kami punya banyak bantal, tapi Wildan hanya mau yang warna merah dan berisi kapuk yang banyak bijinya. Biasanya biji kapuk akan di"giring' Wildan menuju pojok bantal. Nah, dia kemudian akan asyik 'menthil' deh'.
Sama dengan si bantal merah, selimut satin warna blewah keadaannya juga robek-robek. Bahkan sisi dalam selimutpun busanya sudah habis. Wildan sendiri tidak nyaman dengan keadaan robek tsb, makanya dia selalu mentodorkan selimutnya untuk dijahit. Tetapi tidak mau ganti. Suatu ketika ibuk membelikan selimut baru warna merah dari bahan bulu yang sangat ringan tetapi hangat. Setiap waktu ibuk memasukkan konsep pada Wildan bahwa itu adalah selimut baru Wildan. Dua hari setelah beli, saat Wildan tidur...kami coba ganti selimutnya dengan selimut baru....sedetik...semenit..sepuluh menit...tiba-tiba Wildan bangun dan menyingkap selimut barunya, trus mengambil selimut lama...dan tidur lagi seolah kami tidak ada disekelilingnya. Besuknya, kami ulang usaha mengganti selimut. Pada waktu itu, akirnya Wildan juga tetap terbangun dan tidak mau tidur lagi!. Sejak itu kami tidak berni lagi mengganti selimut......
Keyboard komputer adalah keyboard yang sudah rusak. Rupanya Wildan sangat menikamti bunyi tuts-nya ketika dipencet tek..tektek..tek.. Dia akan mencet-mencet terus seperti orang mengetik. Dilakukaknya sambil duduk, berjalan, maupun tiduran...Bahkan menjadi tanda bagi kami saat dia ditawari makan dan setelah melihat menunya trus mengambil keyboards..tandanya dia cocok dengan menu makanannya. Padahal....key board itu sekarang sudah patah jadi dua (tapi gak sampai putus) dengan ujung-ujung yang sudah retak!.
Tidak kalah mengenaskan kondisi block note sampul kulit imitasi. Sebenarnya itu block note saya diberi teman yang menjadi reporter RRI. Waktu Wildan melihat ada di tas saya, dia mengambilnya dan mulai 'meguasai'nya. Digambari dengan beraneka bednera negara sedunia, gambar presiden, dan apapun coretan bollpoinnya. Sekarang isi block note sudah sobek dan menhilang, tinggal sampulnya saja!.
Tetapi jangan coba-coba menyembunyikan barang-barang Wildan tersebut karena dia gak akan tidur dan terus rewel, bila barang-barang tersebut tidak berada disampingnya. Jadi bisa dibayangkan deh, setiap Wildan mau tidur, kami semua panik mencari barang-barang tersebut!.
Horeeee..Wildan Semangat Lagi
Nah, Hari Rabu, 16 April kemarin, Wildan sudah nampak tidak sabar ingin berangkat ke sanggar. Pagi itu dia cepat mandi, ambil perangkat gambarnya ..eh, pake baju dulu lengkap dengan sepatu ketsnya. Duh, wajahnya berbinar cerah (lho..mata apa wajah ya yang berbinar?). Sejenak kusandera ayahnya untuk memotret kami (aku dan Wildan). Klik...hasilnya kurang memuaskan...saat mau di foto ke dua, Wildan sudah marah karena ingin segera berangkat. ceileee.....kalo lagi mau, dia mah gak sabaran segera ke sanggar. Coba ingat, beberapa hari bahkan hampir dua minggu dia mogok ke sanggar.
Yah begitulah...moody banget. Itu khas autis apa khas seniman yach????>
Rabu, 02 April 2008
Kalo Wildan Lagi Enggan ke Sanggar Lukis
Maklumlah sudah cukup lama komputernya rusak. Baru seminggu ini sudah bisa digunakan lagi, jadi mungkin Wildan rindu main zuma. Untungnya selain main game, Wildan juga gunakan fasilitas paint untuk menggambar di komputer. Gambarnya lumayan juga. Kulihat di arsip, pernah dalam tiga hari pertama sejak komputer rumah bisa digunakan, Wildan telah menyimpan 148 gambarnya. Kuamati tema gambar yang ada meliputi aneka gambar capung berwajah, logo PDI-P, phas foto presiden dg latar belakang bendera, kegiatan dalam rumah potong ayam, masjid, monumen, aneka komposisi warna, bayangan, dan buah-buahan. Ada juga beberapa gambar orang dalam aliran naif.
Selasa, 25 Maret 2008
Buah Karya Wildan


Jumat, 07 Maret 2008
Wildan perlu pendampingan yang tepat
Begitupula tentang sekolah atau pusat terapi autis yang masih sangat terbatas di Jawa Timur. Kalau tidak salah hanya ada tiga saat itu di Surabaya. Bahkan di Kota Malang belum ada kecuali yang bergabung dengan anak-anak retradasi Mental. Setelah mengalami berbagai macam kesulitan dan keterbatasan (suka duka mempunyai/merawat anak autis) kami akhirnya mencoba berpikir jernih...
Selain dg terapi dan sekolah autis. Kami beri kebebasan Wildan seperti saya menganggap bahwa Wildan adalah seperti anak pada umumnya. Bermain bersama teman, tetangga, ke warung, bersosialisasi dengan masyarakat, kita ajak ke rumah teman-teman, dll. Kami menganggap apapun yang dilakukan Wildan asalkan dia bahagia, kita ok ok saja.
Untungnya hal ini ditunjang dg bantuan yang sangat luar biasa dari adiknya yang tidak autis. Bagaimana adiknya, Ghulam, bisa menemani Wildan dalam suka dan duka. Ini sangat berarti buat kami. Ghulam, adiknya seolah sejak batita harus menjadi 'terapist' bagi kakaknya itu.
Kami amati, Wildan sangat suka menggambar dimanapun dan kapanpun. Tiap dia mendapat alat
tulis, spidol, bolpoin, pensil dll dia akan menyalurkan hobinya dimanapaun, ada tembok pun jadi, kertas koran, buku diktat saya, buku pelajaran adiknya, bahkan secuil kertas dari dus kuepun tidak lepas dari aksi corat-coretnya.
Akhirnya kami berpikir bahwa Wildan perlu diberi arahan tentang hobinya ini. Sisi lain kemampuan akademik Wildan terbatas. Jadi kami harus mengembangkan kemampuannya yg terpendam --> kalo mungkin sih biar bisa jadi "keahliannya" kelak jika dewasa. Akhirnya Wildan kami beri fasilitas alat gambar dll. Les privat pada seorang pelukis yang memiliki sanggar lukis. Kami kumpulkan semua karya-karya wildan. Kami berharap suatu ketika Wildan bisa memamerkan lukisannya buat masyarakat. Misinya adalah meningkatkan rasa percaya diri Wildan dan anak-anak autis.
Senin, 03 Maret 2008
Catatan tentang Wildan (anak autis yang hobi melukis)
Perkembangan berat badannya sangat pesat menginjak usia 30 hari. Persis pada usia 50 hari, Wildan nampak gimbul dan dijuluki si bayi No Problemo seperti dalam iklan-iklan. Betapa tidak, minumnya sangat kuat. Karena air susu saya sangat tidak significant untuk membuatnya kenyang, maka Kami memberinya susu formula produksi Md dengan pertimbangan kadar mineral yang lebih tinggi dibandingkan susu formula lain. Pilihan pada Em, Ep, dan Ss sesuai dengan usianya. Porsi Wildan adalah 800 gram habis dalam lima hari.
Perkembangan motorik WRL nampak normal. Usia 6 bulan dia sudah mulai berusaha mengangkat kepala saat dibaringkan. Usia 8 bulan dia sudah bisa duduk. Merangkak juga pada usia yang semestinya. Belum genap setahun dia sudah berdiri merayap. Perkembangan motorik halus juga nampak normal. Memegang benda-benda juga sudah bisa pada usia yang semestinya.
Saat itu, ada satu perilaku WRL yang berbeda dengan bayi kebanyakan, yaitu WRL tidak pernah mau melihat orang-orang yang menggodanya. Bahkan cenderung sengaja melengos saat dipanggil atau ditatap wajahnya. Bayi WRL juga tidak begitu tertarik dengan bunyi-bunyi mainannya tapi dia sangat tertarik pada mainan yang berputar-putar. Bahkan lebih tertarik pada lambaian gordin jendela dan daun-daun yang terhempas angin daripada mainan anak-akan pada umumnya. Perilaku suka mlengos dan tidak mau merespon panggilan itu malah membuat gemess kebanyakan orang. Rasanya semua orang merasa lucu saja ada bayi kok cuek.
KAMI MULAI CURIGA
Sebenarnya, pada usia 11 bulan, WRL mulai berbicara, walau hanya satu kata. Yaitu ”ME” sebagai tanda dia minta minum. Dan pada usia 13 bulan kosakatanya bertambah satu, ”UDAH” bila dia ditatur untuk pipis. Namun, seiring usianya yang bertambah, kosakatanya tidak bertambah. Bahkan lambat laun hilang sama sekali pada usia 16 bulan dan dia hanya mengeluarkan suara saat tertawa dan menangis. Kami mulai khawatir dan semakin khawatir ketika masuk usia 2 tahun, WRL tidak juga berbicara dan semakin cuek dengan bahasa maupun kehadiran orang lain.
Berbagai komentar muncul disekitar kami, hampir semua memberi tanda untuk kebesaran hati, ”biasa..anak laki-laki...telat bicara” atau ”anak laki-laki memang biasanya jalan dulu..gak apa..biasa kok..”. Rasanya hanya Bapak saya (alm) yang sudah melihat adanya ketidak beresan pada diri cucunya. Beberapa kali Bapak mendesak supaya Kami segera memeriksakan WRL pada orang medis. Hal ini bisa kumaklumi, karena sejak Bapak pensiun, Bapaklah yang paling banyak bersama WRL pada saat kami bekerja pagi hingga sore. Tiap pagi, WRL diajak jalan-jalan sama bapak, meyusuri sawah dan taman bunga, lalu singgah di rumah sahabat-sahabat Bapak. Maklum cucu pertama. Apalagi sejak WRL usia 7 bulan, ayahnya berpindah kerja di Makassar dan pulang sebulan sekali, sementara kami tetap di Jawa dan pada saat WRL berusia 19 bulan, dia sudah memiliki adik. Maka perhatiankupun semakin terbagi dan terpecah, maka pelibatan Bapak pada cucu pertamanya itu sungguh suatu anugerah.
Pada saat usia WRL 2 tahun, Kami pindahan ke rumah sendiri, kira-kira 7 km dari rumah orang tua dimana selama ini Kami numpang. Suami memutuskan keluar dari tempat kerja supaya bisa berkumpul satu atap dengan Kami dan memulai usaha sendiri (wiraswasta). Kekhawatiran Kami semakin bertambah manakala WRL tidak menunjukkan kemajuan dalam wicara dan perilaku sosial. Dia juga memiliki kebiasaan-kebiasaan aneh yang bersifat ritual. Misalnya, setelah habis mandi, dia akan lari ke kamar tamu, menempelkan perutnya ke tembok, baru mau pake baju. Bila makan, dimeja makan kecilnya tersusun secara konsisten dengan urutan sebelah kiri tempat sendok, tengah kan minuman, dan sebelah kanan botol susu dengan posisi gambar menghadap dirinya. Pabila kami merubah posisi tersebut, maka WRL akan mengembalikan ke posisi semula.
Kekhawatiran itulah yang kemudian awal dari perjalanan panjang kami bersama Wildan.