Saat mendapat pertanyaan seperti itu, sebongkah haru tiba-tiba menyeruak dalam diri kami karena yang terbayang adalah adik yang luar biasa dan hubungan mereka yang menyejukkan hati.
Adik- Ghulam Ridho Lazuardy- adalah sahabat istimewa Wildan setelah ayah. Sejak kecil baru merangkak, Ghulam sudah menunjukkan ekspresi-ekspresi kebanggan pada sang kakak. Hal tersebut nampak dari pandangan dan sinar matanya saat menatap sang kakak. Selalu matanya berbinar-binar dan berusaha selalu dekat sang kakak. Sementara Wildan sangat cuek, seolah tidak ada orang lain termasuk keberadaan adik. Sementara Wildan sibuk dengan dunianya sendiri, adik selalu mengikuti dengan mata berbinar-binar dan senyum mengembang.
Saat usia dua tahun, Ghulam yang sudah bisa berbicara dan mempunyai banyak teman tetap saja “ngglibet” pada sang kakak. Tidak jarang Wildan merasa terusik dengan kehadiran adiknya. Saat Wildan tantrum, adik adalah sasaran utama. Ditendang, disepak, dibenturkan kepalanya saat kami lengah. Walau menangis, Ghulam masih saja memandang kakaknya dengan cinta.
Teringat saat sekitar tahun 1998 di rumah Ngijo. Ghulam dan Wildan sedang bermain dengan anak-anak sekitar rumah. Suasana ramai ceria. Ada yang berlarian sepeti Wildan, ada pula yang bawa mobil-mobilan. Suatu ketika dengan cueknya Wildan mengambil mobil-mobilan salah satu anak untuk diputar-putar rodanya. Tentu tanpa permisi, main comot begitu saja. Seorang anak yang agak besar nyelutuk, “Wildan khi nakal!.”. Entah apa yang sedang dilakukan adik saat itu, tiba-tiba saja Ghulam meloncat didepan kakaknya....menghadap ke anak yang nyelutuk tadi...Tanganya melentang melindungi sang kakak sambil melotot marah, “kakakku tidak nakal!”. Lalu sepanjang waktu berikutnya, Ghulam tidak mau beranjak dari depan kakak, tidak boleh satu orangpun menyentuh sang kakak.
Ada masa-masa sulit, dimana kami harus pindah kontrakan. Setiap pindah rumah, Ghulam yang beinisiatif memperkenalkan diri dan kakaknya pada teman-teman sebayanya. “hey...namaku Ghulam. Ini kakakku..namanya Wildan. Kakakku autis, tapi jangan takut. Kakak tidak apa-apa.” Itu kalimat perkenalannya. Lalu Ghulam akan memberi instruksi pada sang kakak, “kakak...cium.” Dan Wildan akan mengecup pipi adiknya, “Lho ga papa....kamu juga boleh cium kakakku.".
Empathy Ghulam pada sang kakak luar biasa. Ketika Wildan uring-uringan dan tak terkendalikan, kam mengeluh pada adik, “Dek..mama pusing deh, kenapa sih kakak itu uring-uringan saja?”. Sambil main mobil-mobilan Ghulam menjawab sambil lalu, “Kakak itu sedih maaa...karena mama marah-marah terusss.”..... atau adik akan menegurku, “Kakak itu...ingin mama lihat lukisan yang baru dibuatnya.”. Sejak mengerti sekitar usia SD hingga sekarang, Ghulam selalu antusias untuk menterjemahkan apa keinginan kakak. Pun pada saat kami tidak mengerti apa arti gambar kakak ketika dia meminta sesuatu. Ghulam akan mencoba menterjemahkan walau salah...sampai kakaknya diam tidak rewel karena kami tidak mengerti maksud dari gambarnya. (Kadang kalau dia minta sesuatu, kami instruksikan...”Apa?...gambar...”).

Rasanya, mereka berdua juga pribadi yang saling melengkapi. Secara fisik, Wildan gendut, adik ceking hehehe....Wildan suka sayur tidak mau buah, sebaliknya Ghulam tidak suka sayur dan sangat maniak buah-buahan. ....Kalau makan telur, Ghulam suka putih telur..sementara Wildan suka kuningnya. Dimasa usia TK, kalau Ghulam makan dengan telur, dia akan sisakan kuning telur dan bilang, “Ini nanti untuk kakak....ini kesukaan kakak.”. Akhirnya, Wildanpun kalau kami ajak beli kue, dia akan ambil dua kue yang sama...ternyata yang satu untuk adiknya.
Saat usia SD, setiap libur sekolah....Ghulam selalu punya inisiatif untuk ikut antar kakaknya sekolah autis maupun inklusi. Lalu dia akan menunggui kakaknya hingga jam pulang, sementara mama atau ayah habis mengantar langsung kerja dan nanti menjemput mereka kembali. Wildan sangat senang kalau adiknya ikut menungguinya. Adik dituntun...dan dikenalkan pada guru-gurunya (disuruh salaman ke guru). Lalu Wildan sibuk carikan adik kursi di sebelahnya (terpaksa temannya sebangku mengalah hehehe). Sebaliknya, waktu Ghulam TK dan SD.....kalau Wildan kami ajak menjemput adik, adik juga tidak malu memperkenalkan kakak kepada teman-teman sekolahnya.
Banyak hal Ghulam berinisiatif untuk mencarikan kegiatan bersama dengan sang kakak. Entah itu main bola, main banteng-bantengan, jumpritan, main layan-layang (walau kadang adik terlalu asyik dengan teman sebayanya dan sedikit mengabaikan sang kakak)...... Saat masih usia SD hingga Ghulam kelas VII kadang mereka kemping di ruang tengah..... Tidak jarang, Ghulam libatkan kakak menggoreng telur atau jamur dan membuat mie di dapur. Wildanpun jadi patuh sama sang adik. Bahkan mengalahkan kepatuhannya pada kami.
Ghulam pula yang bersihkan kakak saat buang air besar manakala saya dan ayah tidak di rumah. Bila harus pembantu yang bersihkan kakak, tidak jarang Ghulam akan cek ulang, dan bila kurang bersih, pembantu diminta mengulang bersihkan kakaknya. Suatu ketika, saat Ghulam sudah sunat (kelas VI SD) sepulang dari kantor Ghulam bilang, "Ma, tadi kakak habis buang air besar dan bersihkan bokongnya sendiri."....Saya respon, "Lho, adik kemana?."...Dia jawab, "Aku ada, tapi sekarang lho aku merasa jijik kalau bersihkan kakak karena kakak sudah besar."...Deg! dalam hatiku. Ghulam melanjutkan, "Jadi tadi kakak kuajari bersihkan sendiri. Aku yang pegang gayung air, kuguyur bokongnya, kakak bersihkan dengan tangannya sendiri." Masih sedikit kecewa, "Bersih enggak ya dik?.". Dengan antusias Ghulam menjelaskan, "Bersih kok. Sudah kulihat. Kucium bokongnya juga tidak bau. Tadi kakak juga kuajari cara menyabunnya.". Oalah.....mama dan ayah lebih tidak tega..bukannya tidak mau...mengajari kakak bersihkan sendiri, namun apa yang dilakukan Ghulam adalah hal yang baik. Dengan demikian Wildan akan semakin mandiri merawat dirinya. Sejak saat itu, kami sepakat tidak membantu Wildan bersihkan diri sehabis buang air besar. Ada saat kami sangat tidak tega, terutama ayah - bila Wildan dengan kepolosannya minta dibersihkan. Tetapi demi kebaikannya, kami harus tega!. Sekarang Wildan sudah sangat mandiri mengurus diri sendiri.
Memanglah dengan bertambahnya usia, tentu Ghulam juga mempunyai kehidupan sendiri sebagai remaja. Kadang saya takut Ghulam merasa harus sering berkorban untuk kakaknya. Saya khawatir dia merasa selalu harus mengalah, dst. Untungnya, ayah sering mengajak Ghulam bicara sebagai "lelaki". Tidak bosan, ayah selalu memberi pengertian pada Ghulam, betapa dia harus lebih bersyukur dibanding kakaknya. Ghulam mempunyai banyak teman, banyak mainan, banyak kesempatan, banyak keahlian...sementara kakaknya sungguh sangat terbatas. Maka, siapa lagi yang akan mengerti tenang kakak kalau bukan saudaranya (adik Ghulam), mama, dan ayah. Begitu petuah ayah setiap waktu pada Ghulam.
Setahun yang lalu, saat Ghulam kelas satu SMP....eyang Ti menyampaikan keresahannya pada Ghulam....mama di kamar dengar pembicaraan mereka, “Dek, kakak besuk bagaimana ya kalau sudah besar? Kakak kerja apa?.”. Tanya eyang Ti. Ghulam menjawab serius, “Kakak itu besuk ikut aku, Yang....kakak menjadi tanggunganku.”.
Adik juga pernah bicara denganku, “Ma, do’akan besuk aku sukses ya?. Kalau aku kaya, kakak akan kubuatkan galeri...jadi kakak bisa melukis disitu sambil menjual lukisannya.”. Oh, dalam hati aku menyimpan pesannya itu sebagai amanah kepadaku...akan kudo’akan nak....walaupun kakakmu kelak bisa mandiri. Tetap kudo’akan. Kalian akan bersama-sama mewarnai hidup kalian bersama, saling mengisi dan saling membantu.